Oleh : DR. K.R.R.A. Suharyono S. Hadiningrat
ENERGI menjadi centre of gravity secara global seiring dengan menipisnya sumber daya energi dan melonjaknya populasi penduduk dunia, disamping urusan pangan. Thomas Friedman penulis buku The World is Flat menyatakan bahwa negara-negara maju yang berpengaruh terhadap dunia sedang berpacu mencari, menguasasi dan memproduksi energi demi kepentingan nasionalnya. Geopolitik yang mereka jalankan merambah dan ekspansi ke negara-negara lain, termasuk di kawasan di Asia Tenggara. Menurut Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan – Tenaga Profesional Lemhannas R.I. bahwa energi masa depan ada di kawasan Asia Tenggara, tertutama Indonesia. Posisi strategis Indonesia, satu sisi menjadi manfaat manakala kita dapat memanfaatkannya dengan benar untuk kepentingan kesejahteraan dan keamanan nasional; dan disisi lan menjadi ancaman serius yang harus dimitigasi dan dipersiapkan langkah-langkah solusi yang komprehensif. Untuk itu, kita harus melakukan penguatan terhadap value, capacity dan commitment berbasis pada nasionalisme Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian, diperlukan kebijakan negara yang melindungi sebegnap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum serta melaksanakan ketertiban dunia merdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara berbanding lurus dan dipengaruhi oleh ketersediaan energi per kapita. Disinilah diperlukan kegiatan seismic yang optimal dengan dukungan SDM yang profesional, menguasai teknologi maupun biaya yang memadai. Bisnis sektor energi yang memiliki risiko tinggi, investasi yang besar dan memelukan waktu bertahun-tahun untuk mendapatkan Return of Invesment ini harus dikelola out of the box dan benar-benar berpihak pada kepentingan nasional dan tidak dikuasai dan menguntungkan asing maupun kelompok tertentu. Menurut Prof.Dirgo Purbo arah kebijakan harus mendayagunakan geo-economy sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga mampu mempersiapkan kebutuhan generasi penerus bangsa di masa depan. Kondisi saat ini, kita sangat prihatin jangankan untuk generasi yang akan datang, untuk memenuhi kebutuhan energi di masa sekarang saja tidak mencukupi. Misalnya, untuk memenuhi kebutuhan BBM (Bahan Bakan Minyak) nasional per harinya harus impor sekitar 900 ribu barrel; karena produksinya hanya sekitar 700 ribu barrel tidak dapat memenuhi kebutuhan sebesar 1,6 juta barrel per harinya.
Kondisi ini sangat rawan karena sebenarnya kita berada dalam zona krisis energi. BUMN sektor energi dinilai kedodoran untuk memenuhi target produksi, ditambah carut marut kepentingan yang tak berujung karena banyak pihak yang mencari keuntungan dengan diri dan kroni-kroninya. Harus ada Revolusi Korporasi yang pro-rakyat dibarengi dengan penhyiapan SDM Unggul berbasis pada profitabilitas dan profesionalisme yang mengacu pada kapasitas dan kapabilitas dalam mode komunikasi yang transparan dan humanistis, bukan arogansi yang justru akan menimbulkan persoalan baru, memperumit sengkarut proses bisnis. Misalnya dampak negatif atas holding/subholding migas nasional yang tidak diselesaikan, remunerasi, akulturasi budaya pasca alih kelola dari perusahaan asing. Termasuk rencana IPO (Initial Public Offering) yang membuka peluang beralihnya saham negara kepada pihak lain – dimana menurut para ahli yang pro-nasionalis hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 ayat 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan ayat 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Disamping itu, secara kelembagaan masih terdapat persoalan dalam akulturasi budaya korporasi akibat bergabungnya para pekerja ex-korporasi asing. Menurut kalangan ”anggota baru” merasakan masih adanya kastanisasi ; pun hal ini pernah disampaikan oleh para petinggi perusahaan plat merah ini yang berasal dari luar. Budaya ABIS (asal bapak ibu senang), safety, profesionalisme, transparansi, humanistis dan fairness menjadi PR yang tidak mudah untuk diselesaikan. Hal ini harus dikikis habis jika perusahaan ini benar-benar ingin menjadi perusahaan kelas dunia (world class company). Kemudian, perlu dipacu lebih kencang agar BUMN Migas mampu menguasai wilayah kerja migas nasional yang masih dikelola asing sehingga kemandirian energi maupun geoekonomi dan geopolitik Indonesia semakin kuat, terutama dalam menguasai sumber-sumber kekayaan alam.
Terget Produksi 1juta barrel
Target produksi migas sebesar 1juta barrel/day pada 2030 merupakan tantangan sektor energi migas yang tidak mudah untuk diraih. Banyak faktor yang mempengaruhi, antara lain penguasaan teknologi dan investasi walaupun cadangannya masih banyak yang belum digarap; terlebih terkontraksi oleh pagebluk covid 19. Kondisi yang serba VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity) telah berubah menjadi TUNA (Turbulency,Uncertainty, Novelty and Ambiguity) sehingga menambah persoalan dan kerumitan dalam menemukan solusi terbaik, walaupun cadangannya masih banyak yang belum digarap karena sepinya investor. Untuk menjawab VUCA maupun TUNA perlu strategi baru yang out of the box, buka sekedar bisnis biasa.
Menurut pemerintah, penghentian impor BBM ditergetkan pada tahun 2027 maju 3 tahun dari rencana semula tahun 2030. Hal ini disampaikan Menteri ESDM (30/11/21) dalam sebuah forum diskusi, dimana pemerintah akan melakukan berbagai upaya untuk menekan konsumsi BBM, memperbanyak penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai dan pemanfaatan energi alternative, antara lain melalui program Biodiesel B30 (70% solar dan 30% FAME= Fatty Acid Methyl Ester yang merupakan unsur nabati). Menurutnya, program B30 berhasil mengurangi impor BBM sebesar Rp 53 triliun yang berasal dari penghematan devisa negara dan nilai tambah sawit menjadi biodiesel. Juga meneurunkan gas rumah kaca (GRK) sebesar 24 juta ton Co2, dan menyumbang 35% dari bauran energy baru terbarukan (EBT) pada 2021, serta penyerapan tenaga kerja dari industri ini mencapai 900.000 orang.
Ketergantungan terhadap energi fosil akan mengancam pada persoalan serius seperti : a) menipisnya cadangan minyak bumi yang ada (asumsi tanpa temuan sumur minyak baru); b) ketidakstabilan harga akibat laju permintaan yang lebih besar dari produksi minyak; c) polusi gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil; maupun d) konflik energi baik domestik maupun global; dimana negara maju dan kuat semakin agresif melakukan ekspansi-ekspansi ke negara-negara lain. Kondisi ini akan mengancam ketahanan nasional Indonesia dimana saat ini kita berada pada krisis energy karena impor BBM lebih besar daripada realisasi produksinya.
Energi Fosil dan EBT
Cadangan energi fosil Indonesia diperkirakan akan habis dalam beberapa tahun lagi, untuk minyak bumi sekitar 9 tahun lagi dan gas bumi sekitar 18 tahun lagi. Diperkirakan, cadangan terbukti dan potensial minyak bumi yang dimiliki Indonesia pada 2020 tercatat hanya tinggal 4,2 miliar barel dan gas bumi tercatat sebanyak 62,4 triliun kaki kubik. Sementara itu, kebutuhan BBM semakin naik dan diproyeksikan mencapai lebih dari 2 juta barel per hari.
Oleh karena itu, perlu dilakukan akselerasi dan terobosan untuk mendapatkan cadangan-cadangan baru, ekplorasi dan produksi baik energi fosil maupun Energi Baru Terbarukan (EBT) dimana potensinya sangat besar. Misalnya energi surya, air, angin, panas bumi, dan lain-lain. Perlu dipacu lebih kencang dalam akselerasi program-program bauran energi dan diharapkan pada tahun 2050 mencapai 70% pencapaian bauran energi baru terbarukan (EBT), antara lain pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Pun, harus komit terhadap ketenrtuan PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN). RUU EBT yang menjadi prolegnas tahun 2021 pun harus segera disosialisasik kepada masyarakat untuk meningkatkan peranserta public agar ada kepebrpihakan kepada rakyatn dan negara; sehingga nasibnya tidak seperti UU Koperasi maupun UU Cipa Kerja. In pararel harus segera revisi UU No.22/2002 tentang Migas yang banyak takrik-menarik keuntungan dan kepentingan yang hingga kini belum juga usai padahal sudah diajukan sejak 2008.
Strategi untuk mengembangkan EBT antara lain mengakselerasi a) peningkatan kapasitas unit-unit PLT (Pembangik Listrik Tenaga) EBT yang sudah ada dan proyek EBT ,lainnya; b) upaya penciptaan pasar EBT. Pengembangan bioenergi, berbagai upaya penciptaan pasar yang dilaksanakan Pemerintah antara lain melakukan konversi PLTD eksisting menjadi PLTBn CPO; mendorong pembangkit Captive Power untuk menjual kelebihan listrik pada PT. PLN (persero) dengan skema Excess Power; melakukan Co-firing dengan pelet Biomassa pada exsisting PLTU; mengemabangkan PLT Biomassa skala kecil untuk Wilayah Indonesia Timur secara masif; pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan lahan-lahan sub optimal untuk biomassa melalui kerjasama dengan KLHK, K/L terkait dan Pemda; mendorong penggunaan limbah agro industri untuk pembangkit listrik; maupun mendorong pengembangan PLTSa.
Tantangan pengembangan EBT pun tidak mudah, disamping penguasaan teknologi dan investasi sangat besar juga terkendala oleh harga jual EBT belum menguntungkan bagi pengusaha serta tingginya bunga perbankan terhadap investasi di sub-sektor EBT.
Ketahanan dan Kemandirian Energi
Dalam PP no 79/2021 tentang Kebijakan Energi Nasional dijelaskan bahwa Ketahanan Energi merupakan kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses mesyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan lingkungan hidup. Dan kemendirian energi merupakan terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri. Untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi tidak mudah, harus ada komitmen semua pihak, terutama pemerintah agar benar-benar mewujudkannya dan mengimplementasikan Ajaran Trisakti Bung Karno yaitu : a) Berdaulat di bidang politik; b) Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi; dan c) Berkepribadian di bidang kebudayaan. Kesemuanya itu berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Berbicara ketahanan, kemandirian dan pembangunan energi yang berkelanjutan tidak terlepas dari ketersediaan (availability), yaitu kemampuan untuk memberikan jaminan pasokan energi. Aksesabilitas (accessibility), yaitu kemampuan untuk mendapatkan akses terhadap energi dan keterjangkauan (affordability) yaitu kemampuan untuk menjangkau harga (keekonomian) energi. Ke depan harus dikembangkan energy demand side management yang bertumpu pada kebutuhan yang efisien untuk memaksimalkan penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan dengan pola diversifikasi, dibarengi faktor penyeimbangnnya energi fosil yang saat ini kita andalkan. Dan mewujudkan pembangunan energy menerapkan prinsip-prisip pembangunan berkelanjut dengan menjaga keseimbangan P3 (Planet, People and Profit) agar dapat dipersiapkan kebutuhan energy bagi generasi yang akan datang.
Perspektif Geopolitik dan Geostrategi
Kedaulatan, kemandirian, ketahanan dan keberlanjutan energi akan memperkokoh geoekonomi, geopolitik dan geostrategi nasional dalam mewujudkan eksistensi maupun kemakmuran rakyat bangsa dan NKRI. Dalam konsepsi geopolitik dan geostrategi tidak bisa dilepaskan dari empat (empat) dimensi utama, yaitu STPS (space, time, people, and struggle). Geopolitik berkaitan cara pandang dan sikap bangsa Indonesia untuk mengenal diri dan lingkungannya sebagai negara kepulauan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Yang perwujudannya berupa doktrin Wawasan Nusantara. Sedangkan Geostrategi berkaitan cara memanfaatkan geografinya untuk kesejahteraan, keamanan warga negara dan keutuhan negara. Menurut Mayjen TNI Sonhadji, mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Profesional Lemhannas R.I. bahwa untuk menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) mutlak diperlukan persatuan dan kesatuan semua elemen anak negeri tanpa terkecuali. Harus ditumbuhkembangkan kesadaran dan rasa tanggung jawab untuk rasa memiliki dan membela NKRI sampai titik darah yang penghabisan.
Oleh karena itu, persoalan energy yang menjadi centre of gravity global ini harus kita hadapi bersama-sama dengan menjaga kedaulatan negara dan menguasai teknologi andal dan SDM Unggul yang memiliki value, capacity and commitment untuk menguasai sumber-sumber energy demi terjaminnya kepentingan nasional Republik Indonesia.