Oleh : DR. K.R.R.A. Suharyono S. Hadiningrat
POSISI geografis Republik Indonesia sangat strategis, untuk siapa? Inlah refleksi penting dalam peringantan Hari Nusantara tanggal 13 Desember 2021. Indonesia yang berada diantara antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dapat apa? Wilayah nusantara yang berada pada posisi silang memiliki potensi yang sangat besar dalam dimensi iklim, hubungan bilateral/multilayteral antara bangsa maupun ekonomi; manakala dapat dikuasai & dikelola dengan baik demi kepentingan nasional baik keamanan maupun kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain, dapat memunculkan berbagai tarik menarik kepentingan dan keuntungan dari berbagai negara; terutama Amerika Serikat dan China sebagaimana yang kita saksikan bersama. Seperti dijadikannya kawasan Indopasifik oleh berbagai negara dengan paradigma dan geopolitik masing-masing. Klaim China atas wilayah laut China Selatan dengan Nine dash lines map merupakan ekspansi China atas wilayah ini sehingga menimbulkan ketegangan dan konflik dengan negara-negara di kawasan tersebut, termasuk Indonesia. Juga lebih diperparah dengan proyek-proyek OBOR ( One Belt One Road) dan pemberian utang dari China ke negara-negara berkembang. Banyak negara yang terjerat utang China dan mengalami kebangkrutan. Oleh karena itu, kita jangan terlena dan asyik bergilimang utang dimana ujung-ujungnya akan memporakperandakan kepentingan nasional kita.
Posisi strategis untuk siapa?
Letak geografis Indonesia yang berada di kawasan masa depan ini untuk Siapa? Apakah kita sudah mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional? Atau, bahkan bangsa-bangsa lain yang menangguk keuntungan dengan cara dan dalih apa pun? Inilah persoalan kepualuan dan laut kita yang harus segera diselesaikan oleh negara bersama-sama komponen bangsa agar benar-benar mampu menjaga rumah pekarangan kita sebagaimana Ajaran Panglima Besar Jenderal Soedirman. Dibarengi implementasi dari Ajaran Trisakti Bung Karno, yaitu : a) Berdaulat di bidang politik; b) Berdikari (berdiri diatas kaki sendiri) di bidang ekonomi; dan c) Berkepribadian di bidang kebudayaan. Rumah pekarangan kita sesuai dengan Deklarasi Djuanda 1957 dimana Indonesia mendeklarasikan kepada dunia bahwa batas laut teritorial wilayah Indonesia menjadi 12 mil yang diukur dari garis pantai. Ini merupakan negara kepulauan terluas di dunia Indonesia yaitu 1,904,569 km2, dengan garis pantai 54.716 km. Deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa: a) Laut Indonesia termasuk laut di sekitar di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI; b) Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang memiliki corak tersendiri; dan c) Ketentuan Ordonansi 1939 yang dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Tujuannya untuk: a) mewujudkan bentuk wilayah NKRI yang utuh dan bulat. b) Menentukan batas-batas wilayah NKRI sesuai asas negara kepulauan/archipelago state. c) Mengatur lalu lintas pelayaran yang damai untuk menjamin keamanan dan keselamatan NKRI. Hari Nusantara, ditetapkan pada 13 Desember 2001 melalui Keppres No 126/2001, dilatarbelakangi adanya Deklarasi Djoeanda tanggal 13 Desember 1957. Perjuangan panjang dan penuh tantangan pun akhirnya terwujud dengan pengakuan dunia internasional dalam Konvensi PBB – UNCLOS 1982. Sementara itu, Amerika Serikat dan China tidak mau meratifikasi UNCLOS, dan mereka menggunakan aturan sendiri demi kepentingannya.
Potensi laut nusantara yang melimpah ternyata belum dapat didayagunakan secara optimal demi sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan nasional, dan kekayaan laut banyak dicuri oleh oknum-oknum asing. Kita salut atas shock therapy yang dilakukan oleh Susi – Menteri KKP degan aksi menenggelamnkan kapal-kapal asing yang tertangkap di perairan kita. Konfigurasi negara kita sebagai negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan mencapai 2/3 dari keseluruhan wilayah NKRI ini maka perlu effort sangat besar untuk mengelola dan menguasai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. In parallel, harus disiapkan SDM Maritim Unggul yang menguasai teknologi maritim, sehingga sumberdaya kelautan dapat dimanfaatkan untuk bangsa dan negara, termasuk mempersiapkan kebutuhan generasi yang akan datang sesuai prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).
Menurut Prof. Indroyono Soesilo – Menko Kemaritiman 2014-2015 bahwa potensi kelautan yang sangat melimpah antara lain pertambangan migas, transportasi laut, perikanan tangkap, Indonesia berada di posisi ketiga setelah China dan Peru sedangkan untuk akuakultur menmpati posisi kedua setelah China. Untuk akuakultur, Indonesia harus lebih meningkatkan komoditinya selain rumput laut mengingat Indonesia memiliki sekitar 81 ribu km garis pantai dengan potensi luar biasa. Diperlukan penyiapan Sumber Daya Manusia Kemaritiman yang Berdaya Saing dan Berkarakter untuk Mewujudkan SDM Unggul Indonesia Adil dan makmur 2045. Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri – Menteri KKP 2001 bahwa Indonesia sebagai Negara dengan garis pantai yang panjang dan terbesar kedua di dunia masih jauh dari menjadikan laut sebagai landasan pembangunan bangsa, dimana potensi laut kita memiliki berbagai kekayaan dan sumber daya laut lainnya yang dapat dimanfaatkan demi kelangsungan hidup masyarakat sekitar laut yang dalam keseharian hidupnya mencari rezeki dari hasil melaut. Potensi ekonominya mencapai sekitar USD 1,4 triliun per tahun, sekitar 5 kali APBN saat ini dan sekitra 1,4 kali PDB (Produk Domestik Brutto) saat ini. Potensi ini dapat menciptakan lapangan kerja sekitar 45 juta orang atau 35 persen angkatan kerja; namun faktanya baru sekitra 7-20 persen yang kita dapat manfaatkan.
Oleh karena itu, kita harus memiliki road map yang jelas dan komprehensif agar benar-benar dapat mewujudkan negara maritime terlebih kita akan menghadapi era Bonus Demografi 2030 dan Indonesia Emas 2045. Negara harus memacu lebih kencang agar mampu meraih keunggulan kompetititf (competitiveness advantage) sebagai barometer dalam mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia, agar tidak dicaplok dan dikuasai asing maupun kepentingan tertentu. Kita pun harus meningkatkan kewaspadaan nasional terhadap berbagai kemungkinan ekspansi negara-negara maju dengan kedok apa pun, misalnya proyek-proyek mereka seperti One Belt One Road (OBOR) China maupun Build Back Better World (B3W) Amerika Serikat. Negara-negara yang gagal bayar terhadap proyek-proyek OBOR China antara lain Pakistan, Maladewa, Laos, Mongolia, Tajikistan, Kyrgiztan, Montenegro dan Sri Lanka. Mereka terlilit utang dari China dan Sri Lanka terpaksa harus melepas 70 persen saham Pelabuhan Hambatota kepada sebuah BUMN Cina.
Poros Maritim Dunia
UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (Archipelagic State). Harus diimplementasikan dengan benar mengingat kita belum mampu menjadikan laut sebagai tulang punggung eksistensi dan pengembangan negara sesuai dengan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Dengan luas wilayah 2/3 lautan semestinya orientasi bangsa ini harus mengacu pada laut dari berbagai aspek geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, ditambah ilmu pengetahuan & teknologi. Menurut Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan, Tenaga Profesional Lemhannas RI, Ketua Forum Kajian Pertahanan dan Maritim bahwa Indonesia harus mengimplementasikan Maritime Security Strategy untuk poros maritim dunia. Sekurang-kurangnya menjadikan laut Indonesia sebagai perekat antar pulau, sumber mata pencarian, dan sistem pertahanan. Pun, perlu prioritas dan redefinisi Program Masterplan Percepatan Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan penambahan pada program-program kemaritiman. Poros maritim dunia akan menyangkut Maritime Security Strategy yang memuat langkah-langkah objektif dan strategis.
Kita juga memerlukan SDM Maritim yang unggul, pakar ekonomi, pakar pendidikan, pakar teknologi dan industri, maupun intelijen. In paralel, diperlukan agenda prioritas seperti armada berbendera Indonesia, sistem pelayaran tetap, infrastruktur, logistik, arsitektur manajemen keamanan maritim, kompetensi capacity building, kualitas komunitas maritim, harmonisasi peraturan perundangan maupun industri strategis perkapalan dan kemaritiman. Termasuk menjadikan Jakarta sebagai pengendali dan pengawasan lalu lintas laut ASEAN, yang sekarang ini berada di Singapura.
Pembangunan kemaritiman dan kelautan Indonesia selama ini belum dilaksanakan secara terpadu, masih sektoral oriented, dan fragmented, sehingga mengakibatkan sering terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan dan pengelolaannya. Hal ini diakibatkan karena belum adanya grand design pembangunan bidang kemaritiman dan kelautan Indonesia yang melibatkan peran semua stakeholders secara rinci dan terpadu. Pembangunan kemaritiman cenderung ditafsirkan berbeda-beda oleh pemangku kepentingan yang berlainan. Akibatnya, adanya kepentingan yang tidak sama seringkali menyebabkan timbulnya inefisiensi proses pembangunan. Semestinya, pembangunan yang dilaksanakan bukan sekedar sebagai upaya meningkatkan produksi dan konsumsi material belaka, namun harus menjadikan upaya perluasan kemerdekaan (development as freedom) dari segala macam kebodohan dan keterbelakangan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dan sumber kekayaan maritime yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara demi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
In paralel, budaya maritime pun harus dikembangkan secara holitik yang mencakup berbagai gagasan, ide, pengetahuan, nilai, norma, aturan yang terkait bidang maritim dan dijadikan pedoman perilaku ekonomi, bisnis, jasa dan politik individu/kelompok masyarakat nelayan dan non nelayan untuk mencapai kepentingan sosial ekonominya guna menghasilkan produk. Tantangan yang paling krusial dalam pembangunan politik dan ekonomi Indonesia adalah membangkitkan kekuatan ketahanan industri maritim sehingga pembangunan ekonomi berbasiskan pada potensi kelautan dapat semakin diwujudkan. Dan setidaknya ada 4 (empat) potensi dasar yang bisa dikembangkan sebagai basis pembangunan ekonomi maritim, yakni potensi wisata bahari, perikanan, perhubungan dan pertambangan.
Strategi yang dapat dilalukan antara lain : a) menyusun master plan kemaritiman secara komprehensif dan berbasis kepentingan nasional; b) peningkatan pengelolaan aset laut dan pesisir (perikanan, mangrove, terumbu karang); c) mobilisasi insentif dan investasi; d) penguatan system pengumpulan dan pemantauan data kemaritiman; dan e) Security maritime Plan, termasuk pengutanan TNI AL; dan g) pemulihan ekonomi kemaritiman akibat terkonytraksi oleh pagebluk covid 19. Sehingga konektivitas antar pulau terjamin demi menopang kedaulatan wilayah laut Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Tidak hanya dalam hal kedaulatan, poros maritim penting juga untuk kesejahteraan dan keberlanjutan, di mana pada konsep poros maritim ini, sumber daya laut sudah seyogyanya dijaga dan dikelola secara berkelanjutan sehingga akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan dan pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai salah satu pemangku kepentingan.
Konflik Kawasan Laut Natuna Utara
Klaim kedaulatan terhadap kawasan sekitar Laut Natuna Utara oleh China menjadikan kawasan ini berada dalam konflik antara negara-negara yang dapat memicu perang. Diyakini bahwa kawasan ini memiliki sumber energy seperti migas yang melimpah sehingga semua cara mereka tempuh dengan dalih apa pun. Unjuk kekuatan telah mereka pertontonkan kepada dunia; sehingga kita harus berdiri tegak untuk mempertahankan kedaulatan. Ini menjadi pertaruhan eksitensi kedaulatan sekaligus hak berdalat atas Laut natuna Utara sehingga harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan demi kepentingan nasional. Mobilisasi kekuatan pertahanan laut pun harus dilakukan dengan didukung oleh matra darat dan udara. Wilayah Laut Natuna Utara menjadi kedaulatan kita berdasarkan Deklarari Djuanda, 13 Desember 1957 dan Konvensi PBB – UNCLOS 1982 tentang negara kepaulauan.
Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-14 adalah menjaga ekosistem laut yang merupakan komitkmen global yang dicanangkan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pembangunan berkelanjutan di Rio de Janeiro pada 2012. Urgensi untuk melindungi dan mengelola ekosistem pesisir dan laut untuk mencapai laut yang sehat dan produktif, mendukung peningkatan manfaat ekonomi bagi negara-negara kepulauan yang mempraktekkan pengelolaan secara berkelanjutan, melarang penangkapan ikan dengan teknik yang merusak, perlindungan terhadap nelayan kecil. Semua pemangku kepentingan harus berkomitmen dan bekerjasama untuk mewujudkannya sejakan dengan arah kebijakan untuk : a) meningkatkan pertahanan maritime; b) meningkatkan tata kelola sumber daya laut; c) meningkatkan konservasi, rehabilitasi dan peningkatan ketahanan masyarakat terhadap bencana di pesisir dan laut; d) melarang kegiatan yang merusak laut; e) meningkatkan SDM, iptek dan budata maritime; dan f) meningkatkan produktivitas maritime; f) meningkatkan industry maritime yang pro-rakyat, dan lain-lain.
Semoga bangsa Indonesia yang memiliki sumber daya kelautan yang melimpah ruah mampu memanfaatkannya demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; walaupun disisi lain kita poesimis karena sudah berada dalam jebakan-jebakan utang maupun atas nama investasi yang penuh intrik dan kelicikan seperti turnkey project (proyek terima jadi) dimana investor menggunakan menggunakan produk, alat mesin, dan tenaga kerja dari mereka untuk kepentingannya. (hr).