Oleh : DR.KRRA.Suharyono S.Hadiningrat (Caleg DPRRI 2004)
PERSENGKONGKOLAN JAHAT ..! inilah diksi yang cocok bagi hot issue 3 (tiga) hari ini, soal penundaan pemilu yang dilontarkan oleh elit parpol. Sungguh di kepala mereka isinya hanya shawat untuk melanggengkan kekuasaan abai aspek hukum maupun persoalaan bangsa lainnya. Amandemen UUD 1945 hingga 4 (empat) kali yang banyak merubah substansial UUD 1945 aslinya itu, dan kini mereka jalankan. Pikiran yang waras, mestinya akan lebih baik menunda pembangunan IKN dari menunda Pemilu karena dampaknya lebih ringan. Pemindahan IKN dapat dilakukan nanti setelah kondisi ekonomi Indinesia pulih kembali dan menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, dan dilakukan berdasarkan kekuatan sendiri. Jika harus memilih skala prioritas maka anggarannya direlokasi untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024. Sebagai bukti adanya komitmen kpemerintah karena sudah disetujuinya UU No. 3/2022 tengang IKN maka pemerintah melakukan peletakan batu pertama pembangunan IKN dan penandatangan prasasti oleh Presiden sebagai tanda dimulainya pembangunan IKN. Hal tersebut akan lbih bijak, daripada menunda Pamilu.
Wacana penundaan pemilu mencuat ke ranah publik mendapat respon yang negatif dan ini akan menggerus kepercayaan publik kepada penyelenggara negara baik pemerintah maupun legislatif. Penundaan pemilu serentak 2024 lebih rumit, bisa menimbulkan kekacauan demikrasi dan people power karena keitdakpercayaan publik. Jangan sampai peristiwa 1998 akan berluang kembali.
Semua pun tahu, bahwa syahwat berkuasa dan mengutamakan kepentingan antara para elit parpol banyak yang abai terhadap kepentingan rakyat. Janji-janji surgawi saat kampanye pun berlalu begitu saja. Kini, muncul kembali mesin-mesin parpol digerakkan untuk bersiap pemilu 2024 dengan dalih apa pun. Ini sah-sah saja, sepanjang dilakukan sesuai aturan main, bukan maunya sendiri.
Oleh karena itu, para elit politik hendaknya menjadi negarawan sejati yang benar-benar mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Jangan membangkitkan macan tidur atas nama demokrasi, dimana rakyatlah yang berkuasa. Cukuplah dua (2) periode 5 tahunan dimana UUD 1945 sudah diamanandemen 4 kali. Justru yang harus diwaspadai jebakan politik terkait seseorang yang pernah menjadi Presiden kemudian maju menjadi Cawapres pada periode selanjutnya; dimana tidak ada aturan tegas dan jelas. Walaupun nilai-nilai etika dan kepatutan tidak membenarkan hal tersebut terjadi. Hal tersebut pernah dilakukan oleh mantan walikota Surabaya yang setekah dua periode berturut-turut, kemudian maju sebagai cawali dalam pemilihan walikota selanjutnya dan anehnya masih ada rakyat yang memilihnya. Aneh bin ajiab kini ada segolongan masyarakat yang mendekalarasi capres dan cawapres model pasangan berginian.