Oleh : Dr,K,P.Suharyono S.Hadiningrat
Poros Maritim Dunia apakah sekedar jargon politik ataukah cita-cita yang harus direalisasikan sejalan dengan Deklarasi Djuanda 1957? Dimana potensi kelautan Indonesia sangat besar, jika dimanfaatkan sevcara benar akan mensejahterakan rakyat. Dengan posisi geografis yang strategis, sangat mungkin Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia, mengingat 45% seluruh barang perdagangan global dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 triliun/tahun ditransportasikan melalui Aluat Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perairan ini harus memperhatikan ketersediaan (availability) yakni sumber daya alam yang tersedia dengan indikator sumber pasokan; kemampuan untuk membeli (affordability) yakni daya beli yang dikaitkan dengan pendapatan nasional per kapita; dan adanya akses (accessibility) bagi produser maupun pengguna dalam menggerakkan ekonomi; maupun quality (kualitasnya). Pun kebijakan sektor kelautan harus benar-benar demi kepentingan nasional, antara lain pengelolaan sumber daya kelautan, pengembangan SDM, hankam, penegakkan hukum dan keselamatan di laut, tata kelola dan kelembagaan di laut, ekonomi, infrastruktur, peningkatan kesejahteraan, pengelolaan ruang laut & perlindungan lingkungan laut, budaya bahhari maupun diplomasi maritim. Dengan memegang prinsip wawasan nusantara, pembangunan berkelanjutan, ekonomi biru, pengelolaan terintegrasi dan transparan, partisipasi masyarakat, pemerataan dan kesetaraan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus sesuai dengan UUD NRI 1945. Pasal 33 Ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Potensi Sumber Daya Kelautan
Luas wilayah laut Indonesia mengacu pada Deklarasi Djuanda, 13 Desember 1957, yang kemudian ditetapkan dalam UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia, Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 dan UU No. 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan Luas perairan laut mencapai sekitar 5,8 juta km2 dan merupakan 75% dari total wilayah negara. Selain itu, terdapat lebih dari 17.504 pulau dan dikelilingi pantai terpanjang kedua setelah Kanada, sejauh 104.000-an ribu km. Deklarasi Djuanda pada intinya berisi pernyataan Indonesia kepada dunia tentang laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut Rochmin Dahuri, potensi kelautan Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai US$ 1,4 trilyun/tahun (atau 7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional 2020. Ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: a) perikanan tangkap, b) perikanan budidaya, c) industri pengolahan hasil perikanan, d) industri bioteknologi kelautan, e) Energi sumber daya mineral, f) pariwisata bahari, g) perhubungan laut, h) industri dan jasa maritim, i) kehutanan pesisir/coastal forestry, j) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan l.) SDA kelautan non-konvensional. Namun, hingga 2020 baru dapat dimanfaatkan sekitar 20% dari total potensinya, padahal posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia sangat strategis: terletak diantara Samudera Pasifik & Hindia dan Benua Asia & Australia, diantara Laut China Selatan & Indo-Pasifik, dan 45% seluruh barang perdagangan global dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 triliun/tahun ditransportasikan melalui ALKI. Potensi ini bisa menjadi “berkah” atau “kutukan” bagi NKRI, tergantung bagaimana kita mampu memanfaat dan mensyukurinya,
Potensi lestari sumber daya ikan laut Indonesia menurut Dwi Kuswardani diperkirakan sebesar 12,01 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia (Komnaskajiskan, 2022). Angka Konsumsi Ikan Tahun 2021 sebesar 55,16 kg/kapita/tahun, sedangkan angka sementara tahun 2022 sebesar 56,48 kg/kapita/tahun. Permintaan ikan dalam negeri untuk kebutuhan konsumsi tahun 2022 sebesar 13,11 juta ton. Kontribusi PDB : Produksi perikanan 24,87 juta ton, termasuk rumput laut (2022). Nilai ekspor perikanan sekitar USD 6,24 milyar, komoditas utama udang, tuna-cakalang-tongkol, cumisotong-gurita, rumput laut, dan rajungan-kepiting (2022). Kontribusi PDB Perikanan 2,54 persen dari PDB Nasional (pada triwulan 3 thn 2022). Kontribusi PDB Kelautan 26,86 persen dari PDB Nasional (2020). Penyangga lingkungan : memiliki 21% luasan mangrove dunia (3,49 juta ha); Padang lamun terluas di dunia (potensi 8,3 – 18,34 juta ha); Potensi ekonomi dari serapan karbon ekosistem mangrove dan lamun; Estimasi pendapatan dari wisata terumbu karang USD 3.1 triliun (UNEP, 2018). Sangat penting dilakukan perhitungan neraca sumberdaya laut (ocean accounting) akan digunakan sebagai indikator keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya laut. Alat ukur dan tracking tool untuk menilai kinerja blue economy dalam bentuk neraca antar waktu : luas, status, dan nilai ekosistem dan jasa lingkungan laut, kontribusi laut terhadap ekonomi, dampak kegiatan ekonomi terhadap laut. kualitas kebijakan pengelolaan laut dan ocean economy yang komprehensif (beyond GDP).
Potensi kelautan, disamping ikan tangkap dan budidaya juga berupa : a) hutan bakau/mangrove yang luasnya mencapai 3.617.000 hektar; b) terumbu karang yang Indonesia adalah negara dengan jumlah terumbu karang terluas di dunia. Luasnya mencapai 284,3 ribu km2 atau setara dengan 18% terumbu karang yang ada di dunia; c) pertambangan dan energi seperti minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monasit dan zirkon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, kromit, dll.; d) Lamun (seagrass)sebagai ekosistem tumbu karang; dan e) keanekaragaman flora dan fauna yang dapat dikembangkan menjadi komoditas pariwisata, seperti wisata bisnis, wisata pantai, wisata budaya, wisata pesiar, wisata alam, dan wisata olahraga, maupun f) harta karun di laut. Dengan potensi yang sangat besar tersebut, dimana Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun oleh 17.504 pulau, dirangkai oleh sekitar 104.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut semestinya mampu mensejahterakan rakyat. Namun masih terdapat ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi yang terjadi. Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, menyebutkan bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% porsi kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Bank Dunia (2014) mencatat bahwa dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun. Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun. Bahkan pada 2014, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin. Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Bahkan sekarang 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016). Kondisi kesenjangan ekonomi dan sosial tersebut sangat berpotensi menimbulkan kecemburuan, konflik sosial bahkan disintegrasi; terlebih banyak pengusaha yang berada di pusaran kekuasaan yang dapat mempengaruhi kebijakan public demi kepentingannya.
Poros Maritim Dunia
Poros Maritim Dunia yang dicanangkan pemerintah tahun 2014 memiliki Visi untuk meningkatkan konektivitas dan keterjangkauan antar pulau di Indonesia. Visi tersebut bertumpu pada tujuh pilar utama, yakni maritim dan sumber daya manusia; pertahanan laut, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; tata kelola kelautan; ekonomi dan infrastruktur laut; pengelolaan tata ruang maut dan perlindungan lingkungan; budaya maritim; dan diplomasi maritim.
Menurut Rochmin Dahuri perlu dikembangkan 5 pilar utama yaitu: a) Membangun kembali budaya maritim Indonesia; b) Menjaga sumber daya laut dan menciptakan kedaulatan pangan laut dengan menempatkan nelayan pada pilar utama; c)Memberi prioritas pada pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik, industri perkapalan, dan pariwisata maritime; d) Menerapkan diplomasi maritim, melalui usulan peningkatan kerja sama di bidang maritime dan upaya menangani sumber konflik, seperti pencurian, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut; dan e)mMembangun kekuatan maritim sebagai bentuk tanggung jawab menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan martim.
Disisi lain, Robert Mangindaan mengemukakan bahwa untuk menjadi poros maritim dunia harus didukung intelijen maritim yang professional dan kuat sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara tepat dan cepat pula. Poros maritim tanpa intelijen maritim akan rapuh karena negara-negara lain juga memiliki kepentingan dengan geopolitik dan geo ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, maritim harus dimaknai sebagai segala kegiatan mengelola sumber daya baik alam maupun buatan di laut untuk menjadi kekuatan yang punya daya mempengaruhi sikap dan perilaku negara lain. Sedangkan intelijen maritim berkaitan dengan kegiatan pencarian informasi/data dalam konteks perang otak, termasuk menganalisis secara cermat terhadap potensi ancaman dan kemungkikan kehilangan/loss. Secara teoritis, ancaman (threat) merupakan hasil perkalian niat (intention), kemampuan (capability), dan keadaan (circumstance). Dalam perkalian, jika salah satunya bernilai nol maka hasilnya akan nol Dan terkait dengan tugas intelijen maritim itu, secara wujud (trinity) dapat dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai pengetahuan (knowledge), sebagai kegiatan (activity) yang mencari pengetahuan yang diinginkan, dan sebagai organisasi (organization) yang menyelenggarakan kegiatan untuk mencari pengetahuan yang diinginkan.
Ekonomi Biru
Ekonomi Biru pada dasarnya merupakan ekonomi hijau yang diimplementasikan di laut atau perairan.Menurut Pasal 14 (1) UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan dijelaskan bahwa Ekonomi Biru adalah pendekatan untuk meningkatkan pengelolaan kelautan yang berkelanjutan dan konservasi sumber daya laut dan pesisir dan ekosistemnya untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi dengan melibatkan masyarakat, efisiensi sumber daya, meminimalkan limbah,dan pendapatan ganda. Kemudian, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesua idengan kewenangannya menyelenggarakan Pengelolaan Kelautan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya laut dengan menerapkan prinsip ekonomi biru. Sementara itu, Bank Dunia menegaskan bahwa ekonomi biru adalah penggunaan sumber daya laut yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan mata-pencaharian, dan pekerjaan sambil menjaga kesehatan ekosistem laut, mencakup berbagai sektor terkait laut seperti perikanan, energi terbarukan, pariwisata ,transportasi laut, pengelolaan limbah, dan mitigasi perubahan iklim. Ekonomi Biru yang merupakan ekonomi berbasis kelautan berkelanjutan akan menciptakan nilai tambah dan meningkatkan produktivitas ekonomi berbasis kelautan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang inklusif & berkelanjutan. Peluang ekonomi biru untuk Indonesia antara lain industri perikanan, Industri galangan kapal, bioekonomi dan bioteknologi, logistic laut, energi terbarukan, Penelitian dan Pendidikan, pengelolaan sampah laut, wisata bahari, dll. Data Kementerian ESDM mencatat bahwa potensi energi baru terbarukan (EBT)mencapai 417,8 gigawatt (GW). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW dan diyakini bahwa itdak akan habis hingga 100 tahun ke depan.
Sejalan dengan itu, program dan peta jalan kebijakan transformasi pembangunan ekonomi Indonesia, menjadikan laut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru nasional harus dilakukan sekaligus untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals (SDGs) 2030 goal ke-14 yaitu konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan laut, dan sumberdaya laut untuk pembangunan berkelanjutan yang ditunjukkan dengan peningkatan manfaat ekonomi dari pemanfaatan dan konservasi sumberdaya laut secara berkelanjutan. Dengan prinsip utama adalah pembangunan ekonomi berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, resiliensi ekosistem, teknologi yang adaptif, pengaturan kelembagaan dan kebijakan finansial yang mendukung dan terintegrasi. Pun harus focus untuk lima sector prioritas Pembangunan Rendah Karbon, yaitu energi, lahan dan gambut, industri, limbah, pertanian, serta pesisir dan kelautan melalui blue economy. Pun, harus dikembangkan konektivitas multimoda dalam mengakomodasi pola perdagangan baru yang muncul dengan melibatkan angkutan darat, laut, sungai dan udara secara terpadu sehingga akan meningkatkan efisiensi, biaya terjangkau serta memperkokoh ketahanan nasional.
Kemudian, kondisi krisis nasional maupun global yang menghantui berbagai negara menjadi tantangan yang tidak mudah untuk diselesaikan, terutama negara-negara berkembang maupun miskin. Dalam hal pemanfaatakan sumber daya kelautan, Indonesia harus mampu mengubah kendala-kendala menjadi peluang melalui kemitraan strategis pentha helix sector maritim berbasis inovasi dan teknologi. Tantangan mengenai perubahan iklim – pemanasan laut, pengasaman laut, peningkatan erosi pantai; ketergantungan pada bahan baku impor yang rentan terhadap variabilitas pasar global; persaingan global terutama SDM berkualitas, polusi, bencana alam, illegal fishing maupun upaya pencaplokan wilayah oleh negara asing dan lain-lain harus dimitigasi, diantisipasi dan dicarikan solusi yang tepat dan cepat demi kepentingan nasional. Persoalan kultural kebaharian maupun masih rendahnya kualitas SDM harus dipacu lebih kencang melalui prioritas pendidikan dan latihan yang memadai sehingga mereka mampu berkontribusi secara signifikan bagi pembangunan kelautan maupun pembangunan nasional. Harapannya mereka akan menjadi tuan di rumahnya sendiri yang secara mandiri dan berdaulat mampu memanfaatan potensi kelautan Indonesia demi kepentingan nasional berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi biru untuk mengakselerasikan Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia berdasarkan Pancasila, UUD NRI 1945 maupun hukum laut internasional. Dengan demikian, sumber daya kelautan akan mensejahterakan Rakyat dan Bangsa Indonesia baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dan ketahanan nasional semakin tangguh untuk memacu ekonomi biru dalam mengakselerasi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. (Semoga).