Oleh : DR. K.R.A.A. Suharyono S. Hadiningrat
DISINTEGRASI menjadi pertaruhan kedaulatan Republik Indonesia manakala ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin melebar tidak segera diselesaikan secara berkeadilan berbasis pada kepentingan nasional. Ketimpangan antara si kaya dan si miskin, antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa dapat menjadi pemicu terjadinya kecemburuan, kerawanan, disharmoni, konflik horizontal, persoalan sosial lainnya hingga disintegrasi. Kesenjangan kemajuan suatu daerah dengan daerah lainnya merupakan salah satu faktor penting yang tidak boleh dianggap remeh temeh agar keutuhan wilayah NKRI terjaga. Sungguh sangat mengenaskan kondisi yang ditemukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K dimana lebih dari 50 persen aset nasional hanya dikuasai oleh sekitar 1 (satu) persen warga negara. Dalam arti 90% penduduk memperebutkan sekitar 30% aset sisanya. LPS juga merilis data pada Oktober 2021 bahwa 0,07 penabung menguasai 59 persen dari total simpanan di perbankan nasional yang mencapai Rp Rp 7.301,29 triliun. Bagi wong cilik dan pengangguran, jangankan untuk menabung untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari saja kalang kabut, terlebih bagi yang terdampak pagebluk covid 19 maupun melejitnya harga-harga sembako maupun kenaikan BBM/gas. Kondisi ini akan memperbanyak jumlah rakyat miskin.
Data BPS, Nopember 2021 menunjukkan bahwa Jumlah pengangguran mencapai 9,1 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2021 yang sebesar 6,49 persen. Artinya dari 100 orang angkatan kerja terdapat sekitar 6 orang pengangguran. Angka kemiskinan mencapai 27,54 juta atau 10,14 persen dari total populasi nasional pada Maret 2021. Kelompok inilah yang terdampak, termasuk menjerit ketika harga-harga melejit, tidak terkendali. Bagi mereka yang beruntung bisa tutup mata menikmati kenyamanannya dan skeptis dan sinis terhadap persoalan ini. Olek karena itu, negara harus harus untuk menyelesaikan semua persoalan kebangsaan ini dengan mengembangkan pola kemitraan penthahelix sesuai tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Potensi Disintegrasi
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disharmoni dan disintegrasi adalah ketimpangan baik ekonomi maupun sosial. Misalnya daerah Bougainville yang ingin melepaskan diri dari Papua Nugini.Referendum telah diadakan pada 23 November hingga 7 Desember 2019, dengan hasil diumumkan pada 11 Desember 2019, dimana hasilnya menunjukkan bahwa 98,31 persen suara mendukung kemerdekaan penuh Bougainville dari Papua Nugini. Proses kemerdekaan Bougainville bakal dimulai pada 2023. Bougainville diperkirakan bisa menjadi negara yang merdeka penuh pada 2027. Issue sentral adalah adanya ketimpangan dari pembagian hasil tambang sehingga menimbulkan konflik berkerpanjangan dan berujung pada referendum.
Republik Indonesia pun mempunyai pengalaman pahit atas lepasnya Timor Timur, dimana Republik Indonesia telah mengorbankan jiwa, raga dan harta yang tak terhingga. Timor Timur secara resmi merdeka dari Republik Indonesia menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002 setelah referendum yang diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 1999 menghasilkan 78,5% pemilih memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia. Kemudian, lepasnya Pulau Sipidan dan Ligitan ke Malaysia. Dan kini, kita dihadapkan dengan konflik di Laut Natuna Utara (LNU) yang diklaim China.
Disintegrasi terjadi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor terutama faktor ketimpangan yang dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan. Ketimpangan ekonomi dan sosial yang semakin melebar berpotensi memicu disintegrasi harus segera diselesaikan secara berkeadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Empat konsensus dasar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tungga Ika harus terus diperkokoh melalui berbagai strategi baik secara informal melalui keluarga, secara formal di sekolah dan perguruan tinggi maupun secara non-formal dalam masyarakat. Internalisasi maupun sistem mewariskan nilai-nilai tersebut kepada seluruh rakyat Indonesia harus disesuaikan dengan tingkat lietrasi maupun pekerembangan zaman. Berbicara integrasi tidak terlepas dari komitmen kesatuan wilayah. Dimana secara politis, integrasi nasional merupakan proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah nasional yang menciptakan sebuah identitas nasional. Sedangkan secara antropologis, integrasi nasional adalah proses penyesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Untuk menciptakan sebuah integrasi nasional tentu tidak mudah. Sebab ada banyak kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda yang harus dipersatukan. Belum lagi, adanya berbagai ancaman yang siap mengganggu proses integrasi nasional.
Fakta sejarah membuktikan bahwa kerajaan-kerajaan nusantara seperti Karaton Surakarta Hadiningrat memiliki peranan penting dan kontribusi dalam mendirikan Republik ini. Pada tahun 1945, Presiden Soekarno telah menerbitkan Piagam Kedudukan Daerah Istimewa Surakarta dan kedudukan SISKS Paku Buwana XII; namun karena ada pemberontakan oleh golongan kiri pada 1946 maka untuk sementara waktu pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta diserahkan kembali ke Pemerintah Pusat sampai situasi dan ketertiban umum kembali normal. Namun sudah 79 tahun Indonesia Merdeka kedudukan Daerah Istimewa Surakarta tidak kunjung dikembalikan kepada Pihak Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu, sebagai wujud dari memelihara keutuhan NKRI dan pengakuan terhadao kedudukan Daerah Istimewa Surajarta dan karaton Surakarta Hadiningrat maka Pemerintah Pusat bersama-sama DPR RI harus segera mengembalikan hak dan kedudukan Daerah Istimewa Surakarta tersebut melalui Undang-Undang Daerah Istimewa Surakarta.
Konsekuensi Satu Peta Indonesia
Penguasaan terhadap suatu wilayah geografi oleh suatu negara secara grafis dituangkan dalam suatu peta yang diakui dunia internasional; jika tidak maka akan terjadi konflik bahkan peperangan. Sejak 2010, Presiden Susilo Bambang Yoedhoyono menetapkan Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) Indonesia yang dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo. Kebijakan One Map Policy hadir sebagai aturan yang mengharuskan adanya penyatuan informasi geospasial agar tidak tumpeng tindih sehingga kebijakan yang diambil pemerintah lebih efektif, efisien dan terintegrasi tidak jalan sendiri-sendiri. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa One Map Policy adalah amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (IG), dimana diamanat untuk menyusun Satu Peta Indonesia guna menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi oleh berbagai sektor ke dalam satu peta secara integrative sebagai one reference, one standard, one database, and one geoportal untuk kepentingan nasional.Untuk mendukung hal tersebut telah dibentuk pokja nasional Informasi Geospasial Tematik, yang terdiri dari sub-sub pokja : a) Pemetaaan Sumberdaya Air dan Daerah Aliran Sungai; b) pPemetaaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut; c) Pemetaaan Neraca Sumberdaya Alam; d) Pemetaaan Perubahan Iklim; e) Pemetaaan Eko-region; f) Pemetaaan Monitoring Perijinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan; g) Pemetaaan Transportasi; h) Pemetaaan Sumberdaya Pesisir dan Laut; i) Pemetaaan Kebencanaan; j) Pemetaaan Tataruang; dan k) Pemetaaan Sosial Budaya dan Atlas.
Satu Peta tersebut membawa konsekuensi bahwa pemerintah dan semua eleman bangsa dan NKRI harus benar-benar menjaga dan memanfaatka semua sumberdaya yang ada untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional; buka untuk individu, kelompok tertentu maupun asing. Pengalaman pahit atas lepasanya Timor Timur menjadi Timor Leste, Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia jangan terulang lagi dengan dalil apa pun. Dan ini semua, merupakan kegagalan dari pemerintah yang berkuasa saat itu. Saat ini pun, kedaulatan kita dipertaruhkan dalam konflik Laut Natuna Utara yang diklaim sepihak oleh China, Pulau Ambalat oleh Malaysia maupun pulau-pulau terluar lainnya. Ini ancaman nyata dari luar negeri yang mereka lakukan dengan modus-modus memberikan tekanan politik, intimidasi, provokasi, dan blokade politik maupun ekonomi melalui pemberian hutang; sedangkan ancaman dari dalam negeri berupa separatisme dengan berbagai alasan. Ancaman ideologi ekstrim kiri komunis, ekstrim kanan maupun rezim liberalisasi akan mendegradasi dan mengancam ideology Pancasila; terlebih pasca reformasi 1998 Pancasila telah hilang dari wacana public dan tidak diajarkan di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Padahal, Pancasila sebagai ideology negara yang disepakati oleh para pendiri bangsa dan NKRI.
Bela Negara dan Urgensi UU Kamnas
Gerakan bela negara sudah dimulai sejaka lama sebelum Indonesia Merdeka. Perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme hingga terjadinya peristiwa mempertahankan kemerdekaan dan kini ditetapkan adanya Hari Bela Negara dan diperingati setiap tanggal 19 Desember. Dasar hukum bela negara adalah : a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 3 “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”; b) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 30 Ayat 1 “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usha pertahanan dan keamanan negara”,; dan c) Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan negara” (Pasal 9 Ayat 1).
Sangat urgen untuk segera mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional sebagai upaya menjaga kedaulatan negara dan kepentingan nasional; dibarengi menyelesaikan persoalan-persoalan ketimpangan ekonomi dan sosial secara berkadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sehingga terjaga keutuhan wilayah NKRI.
…………………