Oleh: Laksda TNI (Purn) Dr. Surya Wiranto, S.H,. M.H.
1. Latar Belakang
Presiden China Xi Jinping, dalam kunjungan pertamanya ke Jakarta pada Oktober 2013 telah memperkenalkan Konsep Jalur Sutra Maritim (JSM) abad ke-21 (The 21st Century Maritime Silk Road) dihadapan parlemen Indonesia. Pemerintah China melalui konsep Jalur Sutra Maritim mempromosikan bentuk kerjasama regional dalam bidang pembangunan infrastruktur dan konektivitas maritim yang dapat menunjang perdagangan bebas dan ekonomi terbuka yang saling menguntungkan. Jalur Sutra Maritim ini menghubungkan pelabuhan-pelabuhan penting di China dengan Laut Tiongkok Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Afrika, Laut Mediterania dan Eropa. Jalur laut ini juga dibangun sebagai upaya untuk mempererat hubungan China dengan Asia Selatan dan Asia Tenggara yang berfokus pada perdagangan maritim.
Bagi China, Indonesia menjadi salah satu negara penting dikawasan Asia Tenggara, karena wilayah Indonesia menjadi penyokong dan secara langsung dilalui rute Jalur Sutra Maritim, yang melintasi perairan strategis di Laut Natuna Utara dan Selat Malaka. Lewat inisiatif Jalur Sutera Maritim, China menyampaikan niatnya untuk menjadi investor dalam pembangunan berbagai infrastruktur di Indonesia, seperti pembangunan pelabuhan laut dalam (deep sea port), bandara, jalan raya dan jalur kereta api serta kerjasama teknis dan ilmiah dalam isu lingkungan. Gagasan yang ditawarkan China ini sejalan dengan visi Poros Maritim Dunia yang diajukan pemerintah Indonesia, sehingga memberikan peluang bagi kedua negara untuk merealisasikan kerjasama kebijakan yang menekankan pada pengembangan ekonomi, konektivitas dan kekuatan maritim. Bahkan khusus untuk Indonesia, Tiongkok memberikan penawaran yang sangat menggiurkan untuk mendanai sejumlah proyek infrastruktur hingga sekitar 90% dari kebutuhan biayanya. Dalam merealisasikan niatnya pemerintah China juga telah membentuk lembaga pembiayaan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) yang bertanggung jawab untuk mendanai pembangunan infrastruktur dan mempromosikan interkonektivitas regional dan integrasi ekonomi.
Meski kebijakan Jalur Sutera Maritim terlihat berfokus pada pencapaian ekonomi, namun investasi China di Indonesia mengandung implikasi politik dan militer yang akan memberikan keuntungan strategis kepada China dalam konstelasi geopolitik regional. Hal ini sesuai dengan pandangan Blackwill dan Harris (2016), yang menyatakan bahwa geoekonomi adalah penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai kepentingan geopolitik, mencakup kebijakan seperti bantuan luar negeri, kebijakan perdagangan, embargo ataupun sanksi ekonomi.
Dalam bidang politik, Jalur Sutera Maritim juga merupakan respon China atas Pivot to Asia-nya Amerika Serikat dalam perebutan hegemoni di Asia mencakup bidang keamanan dan ekonomi, dimana ASEAN adalah medan pertempuran utama dalam perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan China, sedangkan Indonesia menjadi inti maupun sumber inspirasi dilingkungan ASEAN (Lynn Kwok, 2019). Melalui Jalur Sutera Maritim, China ingin mengintegrasikan dan menguasai jalur perdagangan strategis di laut China Selatan dan selat Malaka sebagai langkah untuk menjamin dan menemukan pasar ekspor baru China di Asia Tenggara.
Ada beberapa point of Interest China, sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu target proyek Jalur Sutera Maritim China. Pertama, China ingin dapat mengontrol keamanan selat Malaka sebagai jalur perdagangan strategis yang banyak dilalui oleh kapal industri menuju China, yang sebagian besar wilayahnya adalah bagian dari Indonesia. Kedua, kepentingan perdagangan dengan menjadikan Indonesia yang kaya sumber daya alam sebagai pemasok bahan baku industri, sekaligus sebagai tempat pemasaran potensial dari berbagai produk industri China. Ketiga, upaya membangun pengaruh lewat investasi dan pembangunan infrastruktur maritim Indonesia. Penguasaan perdagangan internasional melalui Jalur Sutera Maritim di Indonesia akan memberikan keuntungan kepada China secara ekonomi, politik dan militer.
2. Kebijakan JSM China Abad ke-21
Kebijakan JSM China Abad ke-21 telah menjadi kebijakan luar negeri China yang memadukan kekuatan geopolitik dan geoekonomi untuk pencapaian tujuan geostrategis China melalui laut, dengan cara menciptakan suatu koridor ekonomi melalui pengembangan jaringan perdagangan dan infrastruktur negara-negara dikawasan Asia, Afrika, dan Eropa dengan menjadikan China sebagai pusat pertumbuhan dan kekuatan ekonomi dunia. Hal ini sesuai dengan prediksi Standard Chartered Bank (Data Kemenkomar, 2019) bahwa pada tahun 2030, China akan menjadi negara dengan GDP tertinggi sebesar US$ 64,2 Triliun, disusul India US$ 46,3 Triliun, lalu USA US$ 31 Triliun, dan Indonesia US$ 10,1 Triliun.
Sejak diresmikan Presiden Xi Jinping di depan parlemen Indonesia tanggal 3 Oktober 2013, pemerintah China sangat giat mempromosikan JSM ke berbagai negara dan kawasan lewat kerjasama bilateral, regional maupun multilateral untuk membuat kesepakatan dibidang investasi dan perdagangan, kerjasama kapasitas, pengembangan konektivitas, dukungan pembiayaan keuangan, pembangunan konsensus dan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa China menggunakan kebijakan JSM sebagai alat diplomasi dari setiap kebijakan luar negerinya untuk mencapai kepentingan nasional China ditengah berbagai konflik kepentingan antar kekuatan besar dunia (Wei, 2016). Tidak ada peta resmi yang menunjukkan wilayah JSM. Lingkup geografis JSM terus berkembang hingga saat ini. Awalnya berpusat di benua Eurasia, namun sejak 2017 JSM telah diperluas mencakup benua Afrika, Amerika Latin, Oceania, dan Samudra Arktik. (Nadege, 2019)
Untuk merealisasikan kebijakan JSM, berbagai tahapan dilakukan pemerintah China, mulai pembentukan lembaga pendanaan Jalur Sutera Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan Silk Road Fund (SRF) pada Oktober 2014, dan peluncuran “kertas putih” berisi Visi dan Rencana Aksi JSM pada Maret 2015. Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (The National Development and Reform Commission/NDRC) diberi tugas mengelola dan mengordinasikan pelaksanaan kebijakan JSM ditingkat pusat bersama dengan kementerian dan badan terkait. Di dalam komisi ini terdapat dua Task Force ad hoc di bawah wewenang Dewan Negara, yang dibentuk pada bulan Februari 2015 untuk mengawasi dan memajukan pembangunan kebijakan JSM, dan yang satu lagi dibentuk tahun 2017 untuk melakukan promosi dan misi perencanaan strategis dengan melakukan analisis dan penilaian situasi politik dan ekonomi negara-negara yang akan bergabung dengan JSM. (Nadege, 2019)
Pada bulan Mei 2017, untuk pertama kalinya China menyelenggarakan Belt and Road forum for International Cooperation (BRF) yang diikuti oleh 29 negara, termasuk Indonesia. BRF I yang dilaksanakan di Beijing, mengangkat tema Belt and Road: Cooperation for Common Prosperity, dengan 5 bidang kerjasama prioritas, yaitu: 1) policy coordination; 2) infrastructure development; 3) trade promotion; 4) financial integration; 5) people to people bond. Para kepala negara yang menghadiri Leader’s Rountable telah menghasilkan Joint Communique sebagai outcome document yang menyatakan dukungannya terhadap BRI China dalam kerangka kerjasama yang saling menguntungkan.
Pada bulan April 2019 juga telah dilaksanakan BRF II di Beijing, yang diikuti oleh 37 negara. Dalam forum ini dilahirkan kesepakatan dalam 6 kategori, yaitu: 1) Initiatif proposed and launched by the Chinese side; 2) bilateral and multilateral documents signed during or immediately before the second BRF; 3) multilateral cooperation mechanisms under the BRF framework; 4) investment projects and project lists; 5) financing projects; 6) projects by local authorities and enterprises.
JSM telah dirancang agar dapat mencapai impian besar China untuk peremajaan kembali bangsa China. Hal ini ditegaskan Presiden Xi Jinping dalam pidatonya di Kongres ke-19 Partai Komunis China tanggal 18 Oktober 2017 yang menyatakan bahwa: “bangsa China telah mencapai transformasi yang luar biasa, dimana China telah berdiri menjadi negara yang kaya dan kuat. Agar tujuan ini dapat dicapai, maka kepemimpinan China berusaha untuk mengubah China menjadi negara yang kuat secara ekonomi, diplomatik, politik, sosial, budaya, dan militer“. Pendekatan holistik semacam itu, menuntut China untuk fokus pada keamanan internal dan eksternalnya. Secara internal, sangat penting untuk mempromosikan pembangunan, melanjutkan reformasi, menjaga stabilitas, dan menciptakan lingkungan yang kondusif. Secara eksternal, perlu mempromosikan perdamaian internasional, meningkatkan kerja sama yang saling menguntungkan serta meningkatkan keharmonisan dunia.
Di bidang politik, kebijakan JSM dimaksudkan China untuk memperluas lingkaran pertemanan dan meningkatkan pengaruhnya terutama ke negara-negara berkembang diberbagai kawasan yang sangat membutuhkan modal investasi dan pembangunan infrastruktur. China juga menggunakan JSM untuk dapat mengakses pasar baru, meningkatkan kontrol China terhadap aset infrastruktur penting, dan memengaruhi keputusan strategis negara-negara kawasan yang telah bergabung dengan JSM. China akan menggunakan instrumen ekonomi sebagai insentif untuk mengumpulkan dukungan bagi kepentingannya serta mengurangi dan menghilangkan perlawanan dari negara-negara yang memilki potensial konflik dengannya.
Munculnya pendekatan geoekonomi China dalam JSM merupakan faktor penentu untuk mencapai kepentingan geostrategis. Pertumbuhan ekonomi yang kuat dan ekspansi pasar domestik China yang semakin meluas, menjadikan Cina sebagai produsen barang terbesar di kawasan. China juga telah memperkuat daya saing ekspornya sehingga menyebabkan perubahan dalam transaksi ekonomi regional. Hal ini terbukti menjadi salah satu pemicu terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang berimbas terhadap melemahnya sistem perekonomian dunia (Goh and Simon, 2008). Meskipun perang dagang antara Amerika Serikat dan China telah mendistorsi perekonomian dunia, namun kebijakan ekonomi regional China tersebut pada akhirnya mampu mengukuhkan China sebagai kekuatan baru yang patut diperhitungkan.
Kebijakan JSM juga diproyeksikan untuk memperkuat keamanan energi China. Saat ini 60 persen kebutuhan energi China yang berasal dari Afrika dan Timur tengah diangkut lewat jalur laut melalui choke point Selat Malaka menuju Laut China Selatan. China melihat dikedua wilayah ini, peran pengawasan dan perlindungan Angkatan Laut Amerika Serikat sangat besar, sehingga sangat rentan terhadap potensi blokade laut Amerika Serikat jika terjadi konflik militer. Untuk itu China akan berusaha membangun dan menempatkan pangkalan militernya disepanjang jalur logistik diluar batas teritorialnya atau yang dikenal dengan China’s String of Pearls Strategy, serta terus mengembangkan kapabilitas militernya, khususnya PLAN menjadi blue water navy sehingga mampu menjangkau dan memproyeksikan kekuatan militernya diberbagai kawasan untuk mengamankan jalur logistik perdagangan dan energi, yang sekaligus menjadi rute JSM.
Kebijakan JSM merupakan counter-encirlement strategy (strategi kontra-pengepungan). Para ahli strategi Cina melihat Amerika Serikat sebagai hegemon global bertekad untuk mencegah kebangkitan China. Dominasi kekuatan maritim Amerika Serikat beserta aliansinya atas lautan, selama ini telah mengepung China di perairan Asia-Pasifik. Hal ini dipandang sebagai ancaman serius bagi keamanan China. Ketika Presiden Obama menyatakan niatnya untuk menyeimbangkan kembali ke Asia-Pasifik (Rebalancing to Asia-Pacific) pada 2011, para ahli strategi China menyimpulkan bahwa fase persaingan yang lebih intens telah dimulai, dan mereka membutuhkan cara untuk meresponnya. Solusinya adalah menghindari konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat di wilayah maritim China dengan mengkonsolidasikan posisinya ke arah barat di benua Eurasia dengan merevitalisasi konsep Jalur Sutera Kuno menjadi Jalur Sutera Maritim China Abad ke-21.
3. Pengembangan JSM dalam Konteks Politik
Selain untuk meningkatkan konektifitas regional, kebijakan JSM juga digunakan China untuk menguasai perdagangan dunia sekaligus untuk memperluas pengaruh China di kawasan. China dengan kekuatan ekonominya mendekati negara-negara berkembang di berbagai kawasan untuk menawarkan investasi dan pembangunan infrastruktur yang dapat memberikan keuntungan mutualisme antar kedua belah pihak. Pendekatan China dengan menggunakan instrumen ekonomi dipandang efektif untuk mengembangkan pengaruh China di kawasan.
Disamping untuk meningkatkan perdagangan regional, JSM juga dimanfaatkan untuk mengamankan jalur distribusi energi China dari Afrika dan Timur Tengah, yang sangat dibutuhkan China untuk menunjang kapasitas produksi industri manufaktur China serta mempertahankan stabilitas pertumbuhan ekonomi China. Pembangunan infrastruktur pelabuhan di sepanjang JSM yang di biayai oleh investor China juga memberikan akses yang luas bagi China untuk dapat mengendalikan aktivitas perdagangan laut internasional.
JSM merupakan strategi kontra pengepungan terhadap pivot to Asia-nya Amerika Serikat. China ingin mengembangkan pertemanan dengan negara kawasan untuk bersama-sama membentuk tatanan ekonomi baru dan menghindari konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat dengan mengonsolidasikan posisinya ke arah barat di benua Eurasia dengan merevitalisasi konsep Jalur Sutera kuno menjadi Jalur Sutera Maritim China Abad ke-21.
JSM juga menjadi sarana bagi China untuk mengumpulkan dukungan politik bagi kepentingan China, seperti pemberian sejumlah hibah dan bantuan China ke negara-negara di Pasifik selatan, serta mengurangi dan menghilangkan perlawanan negara-negara yang memiliki potensial konflik dengannya, seperti yang dilakukan China terhadap negara-negara anggota ASEAN dalam konflik Laut China Selatan.
4. Strategi Indonesia Menghadapi Kebijakan Politik Jalur Sutera Maritim China
Strategi yang paling penting dalam membina hubungan internasional adalah engagement. Pemerintah Indonesia telah melakukan engagement dengan China melalui kerjasama PMD dan JSM. Membina hubungan Indonesia dengan China dalam level comphrehensive strategic partnership dipandang penting karena China dapat menjadi balancer Indonesia terhadap Amerika Serikat beserta aliansinya dalam dinamika hubungan bilateral antar negara. Selain manfaat ekonomi, manfaat lain yang dapat diperoleh Indonesia dari China adalah transfer teknologi dibidang pertahanan, roket dan aerospace. Pemerintah China telah menawarkan kerjasama dan alih teknologi terbarunya kepada Indonesia untuk pembangunan pesawat tempur. Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan oleh Amerika Serikat, Jepang dan negara Eropa lainnya. Biasanya mereka hanya mau membagikan teknologi lama yang sudah usang.
Strategi Indonesia bekerjasama dengan JSM diperoleh lewat kajian mendalam akan manfaat yang dapat diperoleh dari kerjasama tersebut. Indonesia tidak serta merta mau menerima usulan konsep BRI yang disodorkan oleh pemerintah China, namun lewat negosiasi yang cukup alot dan panjang, Indonesia mengajukan format kerjasama dalam bentuk sinergi Visi Poros Maritim dunia (PMD) dengan JSM China dalam posisi yang setara, sehingga kerjasama tersebut akan saling menguntungkan, dimana dalam sinergi tersebut Indonesia dapat mencapai kepentingan nasionalnya dibidang ekonomi, politik dan keamanan. Sinergi PMD dan JSM disepakati pemerintah Indonesia dan China pada bulan Mei 2017 dalam pertemuan bilateral Presiden Joko Widodo dengan Presiden Xi Jinping dalam Belt and Road Forum (BRF) I di Beijing, China.
Mentransformasikan perkembangan lingkungan strategis ekternal yang dinamis menjadi sebuah kepentingan yang menguntungkan bagi Indonesia, dalam sinergi PMD dan JSM, pemerintah Indonesia telah melalui langkah-langkah sebagai berikut:
- mengidentifikasi elemen yang terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, lalu mengaitkannya dengan nilai-nilai (value) dari perkembangan lingkungan
- memanfaatkan sumber daya nasional Indonesia untuk dapat berkolaborasi dengan elemen lingkungan internal, mulai dari manusia, alam, letak geografis, kapasitas nasional untuk diselaraskan dengan elemen
Bekerjasama dengan JSM, pemerintah Indonesia harus memiliki skema khusus yang diciptakan untuk memaksimalkan pencapaian national interest Indonesia. Sebab kalau Indonesia tidak memiliki skema khusus, berarti Indonesia murni menjadi bagian dari pemulus global agenda China melalui JSM. Namun, kalau Indonesia memiliki skema tersendiri, misalnya menggunakan visi Global Maritime Fulcrum, yang didalamnya mengandung agenda pertahanan, ekonomi dan perdagangan, diplomasi maritim, dan joint project dengan China, maka Indonesia memiliki skema yang membuat Indonesia memilki proyeksi untuk memaksimalkan kerjasama dan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari kerjasama JSM tersebut.
5. Pengembangan JSM dalam Konteks Politik
Jalur Sutera Maritim (the 21th Maritime Silk Road), saat ini telah berkembang menjadi 3 rute “ekonomi biru,” seperti yang tercatat dalam dokumen yang diterbitkan oleh NDRC dan Administrasi Kelautan Negara China pada Juni 2017 (Nadege, 2019), yaitu:
- China – India Ocean – Africa – Mediterranean Sea Blue Economic Passage
- Bagian Ekonomi Biru Tiongkok – Oseania – Pasifik Selatan
- China – Samudra Arktik – Europe Blue Economic Passage
Melalui pengembangan ke-3 rute Jalur Sutera Maritim (the 21th Maritime Silk Road) tersebut, Pemerintah Xi Jinping ingin mengkoneksikan perairan samudera dunia untuk menguasai perdagangan laut internasional lewat pembangunan infrastruktur pelabuhan di sepanjang Jalur Sutera Maritim di seluruh kawasan, sehingga perekonomian China dapat terus bertumbuh sekaligus dapat menjamin supply logistik energi China dari Timur Tengah dan Afrika lewat jalur laut. Kerjasama pembangunan infrastruktur pelabuhan yang di lakukan China dengan negara-negara yang memiliki simpul perdagangan internasional, selain dapat meningkatkan konektivitas perdagangan, juga akan memperluas pengaruh China di kawasan.
Penguasaan jalur perdagangan internasional melalui koridor Maritime Silk Road menguntungkan China secara politik dan ekonomi. Melalui kacamata ekonomi, China mampu menjadi pusat perdagangan internasional. Sedangkan dalam pandangan politik, China sedang memperluas pengaruhnya untuk menjadi salah satu kekuatan utama dunia. Hal ini sesuai dengan teori geopolitik yang di kemukakan oleh Alfred Thayer Mahan yang mengatakan bahwa siapa yang menguasai lautan akan menguasai jalur perdagangan dunia, yang berarti menguasai kekuatan dunia sehingga akhirnya akan dapat menguasai dunia. Barang siapa menguasai lautan akan menguasai perdagangan, berarti menguasai kekayaan dunia sehingga pada akhirnya menguasai dunia (Cohen, 2014).
Dominasi China atas perdagangan laut internasional terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir. China telah modernisasi pelabuhan di berbagai negara, seperti di Myanmar (Kyukpiau), Bangladesh (Chittagong), Pakistan (Gwadar), dan pelabuhan Hambantota di Srilangka (Pradt, 2016). Keempat pelabuhan tersebut merupakan pelabuhan penting untuk perdagangan China. Masuknya perusahaan China sebagai investor utama dalam pembangunan pelabuhan akan menguntungkan baginya karena China akan dapat melakukan pengontrolan jalur perdagangan pelabuhan tersebut. Di Pasifik Selatan China juga aktif melakukan pembangunan pelabuhan dan infrastruktur maritim. Sejumlah dana bantuan telah disalurkan China untuk pembangunan infrastruktur ke beberapa negara-negara di Pasifik Selatan, antara lain: Papua New Guinea (PNG) sebesar US$ 632,5 juta, Fiji US$ 359,8 juta, Vanuatu US$ 243,5 juta, Samoa US$ 230,1 juta, Tonga US$ 172,1 juta, Cookisland US$ 49,9 juta, Micronesia US$ 40,6 juta dan Niue US$ 0,7 juta. Pembangunan pelabuhan yang dilakukan China di berbagai kawasan seperti di Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika dan Pasifik Selatan, selain di tujukan untuk menguasai perdagangan dunia, juga dimaksudkan untuk memperluas pengaruh politik China di kawasan (Pradt, 2016).
Di daerah Kutub Utara, setelah pencairan es di Samudera Arktik, China sudah mulai mengembangkan “Jalur Sutera Kutub” sebagai JSM yang menghubungkan China dengan Eropa melalui samudera Arktik. Rute perjalanan melalui Jalur Sutera Kutub lebih pendek 4.442 mil laut serta menghemat waktu 13 hari bila di bandingkan dengan rute Terusan Suez (Nadege, 2019). Selain pengembangan rute perdagangan laut, China juga telah mengajukan berbagai proposal kerjasama dengan Denmark untuk mendirikan stasiun penelitian dan stasiun darat satelit ruang angkasa, serta untuk merenovasi bandara dan memperluas penambangan minyak bumi dan mineral di pulau-pulau Greenland yang memiliki lokasi strategis dan terletak di antara Kutub Utara dan Samudera Atlantik. Untuk mewujudakan Jalur Sutera Kutub tersebut, sejak tahun 2013 China telah bergabung sebagai anggota pengamat Dewan Arktik serta aktif melakukan penelitian di berbagai bidang. Namun aktifitas penelitian China di Samudera Arktik telah menimbulkan kecurigaan Amerika Serikat karena dianggab sebagai penguatan kehadiran militer China lewat pembangunan dermaga kapal selam China bertenaga nuklir di Samudra Arktik (Kontan, 2019).
6. Strategi Indonesia terhadap Kebijakan JSM di Bidang Politik
Lahirnya kebijakan JSM tidak terlepas dari perkembangan lingkungan srategis global dalam persaingan dua kekuatan besar di kawasan Indo-Pasifik antara Amerika Serikat dengan China, dimana Indonesia berada ditengah-tengah wilayah persaingan itu. Untuk membendung kebangkitan China dikawasan, tahun 2011 Amerika Serikat menerapkan kebijakan rebalancing to Asia yang dikenal dengan pivot to Asia. Merespon kebijakan pivot to Asia tersebut, pada tahun 2013 pemerintah China melahirkan kebijakan One Belt One Road (OBOR), yang kini menjadi Belt and Road Initiatif (BRI). Pada tahun 2014, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo melahirkan visi Poros Maritim Dunia (PMD), sebagai strategi Indonesia untuk ambil bagian dalam menciptakan keamanan sekaligus memperoleh manfaat ekonomi dan politik di kawasan. Untuk memperoleh manfaat politik dengan China, pemerintah Indonesia melakukan sinergi kebijakan PMD dengan JSM, sedangkan untuk menciptakan keamanan kawasan, Indonesia menawarkan konsep ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), sebagai langkah Indonesia berperan menjadi arsitektur ekonomi dan keamanan untuk memastikan pergeseran geopolitik dan geostrategis (rivalitas) antara Amerika Serikat dengan China dapat membawa damai, stabilitas keamanan dan kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik (Kemlu RI, 2019)
Strategi Indonesia dalam menghadapi JSM di bidang politik dilakukan Indonesia melalui ASEAN centrality dan ASEAN Outlook on the Indo-Pacifik (AOIP) yang digunakan Indonesia sebagai sarana (means) untuk menjalin kerjasama strategis dengan Amerika Serikat dan China berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif (ways), sebagai upaya mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (ends). Ketiga elemen strategi ini di jadikan Indonesia sebagai panduan dalam kerjasama Indonesia dengan JSM untuk mendapatkan keuntungan di bidang politik. Pembangunan 4 koridor ekonomi regional komprehensif akan meningkatkan konektifitas antar pulau serta menunjang pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu pembangunan 4 koridor ekonomi merupakan wujud dari sebuah kesadaran baru bahwa kemakmuran dan masa depan bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh pengelolaan sumber daya maritim. Tujuan akhir dari kesadaran ini adalah terwujudnya gagasan Poros Maritim Dunia yang memunculkan konstruksi baru tentang jati diri bangsa yang dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran serta kebanggaan sebagai negara maritim (Paskarina, 2016).
Kerjasama Indonesia dengan JSM merupakan perwujudan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Hal ini di lakukan dengan menjadikan China dan Amerika Serikat sebagai mitra strategis di bidang investasi, perdagangan dan pembangunan infrastruktur untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Dalam melakukan kerjasama dengan JSM, Indonesia melakukannya dengan penuh pertimbangan dan prinsip kehati-hatian. Indonesia termasuk negara terakhir yang menyatakan diri untuk bekerjasama dengan JSM, dimana sebelum Indonesia bekerjasama dengan JSM tahun 2017, sudah ada 73 negara yang telah bergabung dengan JSM. Indonesia terlebih dahulu mempelajari pengalaman negara lain yang telah bekerjasama dengan JSM, sehingga Indonesia dapat menentukan format kerjasama yang paling menguntungkan tanpa mengganggu hubungan strategis Indonesia dengan Amerika Serikat.
Kerjasama Indonesia dengan JSM, merupakan strategi Indonesia untuk meningkatkan bargaining politik Indonesia, baik terhadap China maupun Amerika Serikat, karena kedua negara great power tersebut telah menjadi mitra strategis Indonesia. Kebangkitan China dari negara middle power menjadi major power, dipandang sebagai ancaman bagi Amerika Serikat dan aliansi tradisionalnya, sehingga dalam melakukan kerjasama dengan JSM, Indonesia harus pandai menjalankan peran rowing between two corals (mendayung diantara 2 karang), dalam artian Indonesia harus memosisikan di tengah 2 great power, sehingga Indonesia mendapatkan keuntungan dari pihak Amerika Serikat maupun China. Saat ini sedang berlangsung great power competition antara Amerika Serikat dan China, dimana China sedang masuk ke dalam contesting the hegemonic America. Persaingan tersebut mencakup persaingan dalam segi teknologi, ekonomi, politik dan militer. Dalam situasi seperti itu, Indonesia harus jeli serta mampu menempatkan diri terhadap the rising of China, maupun kepada kekuatan Amerika yang sedang mengalami decline, agar Indonesia dapat memperoleh manfaat dari dua sisi.
Strategi Indonesia dalam kerjasama dengan JSM di bidang politik dilakukan dalam lingkup global, regional dan nasional. Di bidang politik pada tingkat global, Indonesia melakukan strategi hedging dengan memosisikan diri sebagai penyeimbang (balancer) antara Amerika Serikat dan China. Strategi hedging di implementasikan Indonesia dengan mengajukan konsep ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), sebagai langkah Indonesia berperan menjadi arsitektur ekonomi dan keamanan untuk memastikan pergeseran geopolitik dan geostrategis (rivalitas) di kawasan dapat membawa damai, keamanan, stabilitas dan kesejahteraan di kawasan Indo-Pasifik. Sikap politik netral tersebut menjadikan Indonesia sebagai sahabat yang baik bagi China maupun Amerika Serikat yang sedang terlibat kontestasi hegemoni. Indonesia merangkul dua kekuatan yang saling berkompetisi di kawasan Indo-Pasifik dengan menjalin kemitraan strategis untuk dapat mengambil manfaat dari kelebihan masing-masing di bidang ekonomi dan militer.
Di tingkat regional, Indonesia melakukan strategi engagement terhadap China dengan mengikat China kedalam ASEAN Centrality, dimana Indonesia sebagai pemimpin tradisional ASEAN memiliki pengaruh dalam menentukan penyelesaian konflik di Laut China Selatan (LCS) antara China dengan beberapa negara anggota ASEAN. Indonesia sebagai non climent state telah berperan aktif menjadi mediator dan fasilitator antar claiment state agar selalu mengedepankan penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai melalui dialog seperti yang tertuang dalam Code of Conduct (CoC) yang harus di patuhi China maupun negara anggota ASAEAN lainnya. Kekuatan ASEAN dalam Asia Century saat ini patut diperhitungkan, karena pergeseran geopolitik dan geostrategis global telah menempatkan ASEAN sebagai ajang perebutan 2 great power competition antara Amerika Serikat dan China. Sedangkan tujuan utama dibentuknya ASEAN adalah untuk menciptakan sub-kawasan yang terbebas dari pengaruh hegemoni kawasan yang berpotensi menjadi ajang rivalitas kekuatan-kekuatan besar dunia. Real politik tiga kutub kekuatan antara Amerika Serikat, China, dan ASEAN itulah yang harus eksplorasi Indonesia untuk dapat memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional Indonesia dalam persaingan politik internasional (Montratama dan Yani, 2017)
Sedangkan di tingkat nasional, Indonesia melakukan strategi hedging antara the old superpower Amerika Serikat dan the next superpower China. Hal ini dilakukan Indonesia dalam peran geopolitik dan geostrategis. Indonesia selain memiliki posisi strategis aspek geografis dan sebagai the big archiphelagic state, juga memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah serta kondisi sosial ekonomi yang stabil yang sangat di butuhkan oleh Amerika Serikat dan China. Keunggulan geopolitik ini membuat negara-negara great power berlomba-lomba mengambil hati‟ Indonesia agar mau bekerjasama dengan mereka. Faktor ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk dapat mencapai tujuan geostrategis dalam merealisasikan indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori geopolitik yang menyatakan bahwa geopolitik adalah alat kekuasaan dan kekuatan negara untuk berkompetisi di wilayah teritorialnya. Sedangkan geostrategi adalah perumusan strategi negara dengan memperhitungkan konstelasi geografi negara dalam menentukan kebijakan, tujuan serta sarana untuk mencapai tujuan nasional (Colint Flint, 2006)
Kerjasama Indonesia dengan JSM telah menimbulkan implikasi di bidang politik berupa munculnya kekuatiran Indonesia masuk kedalam diplomasi jebakan utang (debt trap diplomacy) dan turnkey project yang dapat merugikan tenaga kerja Indonesia, serta isu rasial atas dugaan pelanggaran HAM pemerintah China terhadap etnik minoritas Uyghur di provinsi Xinjiang yang menimbulkan sikap protes masyarakat Indonesia terhadap hubungan Indonesia dengan China (Zuhairi, 2019). Adanya kekuatiran sebagian orang bahwa di Indonesia akan terjadi seperti yang dialami oleh Srilangka ketika pemerintahnya tidak dapat mengembalikan pinjaman sebanyak US$ 1,5 milyar beserta bunganya, sehingga China berhak mendapat kendali penuh atas pelabuhan Hambantota selama 99 tahun (Vox. 2018). Hal yang sama juga terjadi pada pelabuhan Gwadar Pakistan, dimana China akhirnya mendapatkan hak konsesi pengelolaan pelabuhan tersebut selama 44 tahun (Vox. 2018).
Untuk mengatasi implikasi negatif tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan sebagai perangkat regulasi untuk mencegah penguasaan investasi asing di Indonesia, diantaranya adalah Peraturan Presiden nomor 44 Tahun 2016, yang mengatur Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di bidang Penanaman Modal.
Dalam Perpres 44 tahun 2016 telah di tetapkan sebanyak 515 bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan, dimana pengelolaan pelabuhan, bandara, jalan tol serta bidang usaha lain yang terkait dengan kepentingan orang banyak merupakan bidang usaha yang tertutup untuk investasi asing. Aturan ini membuat Indonesia menjadi negara yang restrictive (membatasi) terhadap investasi asing, sebab bila dibandingkan negara lain, jumlah bidang usaha yang diatur tersebut cukup banyak. Sebagai perbandingan, Indonesia mengatur 515 bidang usaha, Singapura hanya 4 bidang usaha, Malaysia sekitar 30 bidang usaha, Thailand 44 bidang usaha, sedangkan Vietnam tidak mengatur sama sekali. Adapun maksud pemerintah Indonesia memberlakukan pembatasan investasi ini bertujuan untuk melindungi bidang usaha tertentu agar tidak dikuasai oleh investor asing. (Merdeka.com, 2019). Selain itu mekanisme pembiayaan proyek kerjasama JSM di lakukan oleh private sector secara Business to Business (B to B), sehingga pembiayaan proyek tersebut bukan menjadi utang pemerintah. Pemerintah disini hanya sebagai supporting apabila di butuhkan.
Sedangkan untuk mencegah timbulnya Turnkey Project, pemerintah Indonesia telah menetapkan 5 prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh investor China dalam melakukan investasi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Kelima prinsip dasar tersebut diatas harus terpenuhi secara mutlak, apabila ada salah satu prinsip dasar yang tidak di penuhi oleh pihak investor, maka investor tersebut secara otomatis akan di diskualifikasi dalam tender. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap proyek pembangunan infrastruktur dalam kerjasama Indonesia dengan JSM akan membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi tenaga kerja lokal Indonesia, Tenaga kerja asal China yang digunakan terbatas pada tenaga ahli pada awal proyek saja, namun setelah proyek selesai semuanya menggunakan tenaga kerja Indonesia. Sedangkan respon Indonesia terkait isu perlakuan pemerintah China terhadap etnik minoritas Uyghur di Xinjiang, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri telah melakukan pendekatan secara bilateral dalam pembahasan Hak Asasi Manusia (HAM) dan resolusi tentang suku Uyghur serta mengkomunikasikan pandangan dan harapan masyarakat Indonesia terkait keberadaan etnik minoritas Uyghur agar mendapatkan perlakuan yang semestinya dari pemerintah China (DetikNews, 2019)
- Penutup
Pengembangan JSM dalam konteks politik dilakukan China untuk memperluas lingkaran pertemanan dan meningkatkan pengaruh politiknya ke negara-negara berkembang di kawasan yang sangat membutuhkan investasi dan pembangunan infrastruktur. China juga menggunakan JSM untuk meningkatkan kontrol China terhadap aset infrastruktur penting dan memengaruhi keputusan strategis negara-negara kawasan yang telah bergabung dengan JSM. China menggunakan instrumen ekonomi sebagai insentif untuk mengumpulkan dukungan bagi kepentingannya serta mengurangi dan menghilangkan perlawanan dari negara-negara yang memilki potensial konflik dengannya.
Strategi Indonesia menghadapi kebijakan Jalur Sutera Maritim (JSM) China Abad-21 di bidang politik, dilakukan dengan menggunakan strategi engagement dan hedging. Strategi Indonesia menghadapi JSM di bidang politik, dilakukan dengan strategi hedging pada tingkat global, dimana Indonesia memosisikan diri sebagai penyeimbang dengan berdiri di tengah diantara 2 great power Amerika Serikat dan China yang berusaha “memperebutkan hati‟ Indonesia. Di tingkat regional, Indonesia melakukan strategi engagement terhadap China melalui peran sentral Indonesia sebagai pemimpin taradisional ASEAN yang memilki pengaruh dalam menentukan penyelesaian konflik di LCS yang melibatkan China dengan beberapa negara anggota ASEAN. Sedangkan di tingkat nasional Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan dan regulasi berupa Perpres Nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka di bidang Penanaman Modal. Di tingkat teknis, pemerintah Indonesia juga telah menetapkan 5 prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh investor asing (China) dalam melakukan investasi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Aplikasi strategi engagement dan hedging dalam kerjasama Indonesia dengan JSM pada periode 2014-2019, telah memberikan implikasi positip terhadap perpolitikan di Indonesia. dept trap diplomacy dan turnkey project yang dituduhkan negara barat terhadap China tidak dapat dibuktikan di Indonesia. Hal ini disebabkan pembiayaan pembangunan infrastruktur JSM di indonesia dilakukan secara busines to business oleh private sector antara perusahaan Indonesia dan China sehingga tidak menimbulkan konsekuensi utang bagi pemerintah Indonesia. Selain itu pemerintah juga telah menetapkan 5 prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh investor China dalam melakukan investasi dan pembangunan infrastruktur di Indonesia, dimana salah satu poin dari 5 prinsip tersebut adalah kewajiban investor China untuk menyerap tenaga kerja lokal semaksimal mungkin. (hr)