Oleh : Redaksi Impinews.com
MENGENASKAN ! Inilah proxy yang pas untuk menggambarkan smeakin maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pemimpin baik daerah maupun pusat. Semestinya mereka sudah selesai dengan urusan pribadi, kelurg maupun kroni-kroninya. Namun faktanya mereka tercokok KPK dan ratusan orang mendekam di hotel prodeo. Mereka, tidak paham bahwa PEMIMPIN adalah center of gravity dari semua urusan, sehingga keberadaannya sangat menentukan maju mundurnya suatu organisasi maupun negara. Oleh karena itu, kaderisasi berbasis ideoleogis harus dipersiapkan dengan matang melalui mekanisme rekrutmen yang transparan sehingga tidak seperti memilih kucing dalam karung. Pemimpin harus sudah selesai dengan urusan pribadi, keluarga, kelompok maupun kroni-kroninya sehingga ia fokus mendarmabhaktikan dirinya untuk kemajuan organisasi/negara. Dengan demikian, mereka para pemimpin tidak terjebak dalam politik dinasti maupun uang yang dapat menghancurkan nama baik diri dan keluarganya. Sebut saja kasus korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah maupun pejabat negara lainnya.
Ada sifat kepemimpinan Hasta Brata yang dijadikan pedoman bari pemimpin dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan ajaran tentang darma atau kewajiban ratu gung binathara. Hasta berarti “delapan” dan brata berarti “laku”. Adalah delapan laku, atau delapan sifat, atau delapan watak, sebagai bentuk kewajiban seorang pemimpin terhadap rakyatnya.
- Laku Hambeging indra
Pemimpin harus senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya & dalam segala tindakannya dapat membawa kesejukan & kewibawaan yg seperti bintang. Pemimpin harus memiliki kepribadian yang kuat, tidak mudah goyah, berusaha menggunakan kemampuan untuk kebaikan rakyat, tidak mengumbar hawa nafsu, kuat hati & tidak suka berpura-pura atau berdusta.
Harus adil seperti air, yg jika di seduh di gelas akan rata mengikuti wadahnya. Keadilan yg ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yg membersihkan kotoran. Air juga tidak pernah emban oyot emban cindhe “pilih kasih” karena air akan selalu turun ke bawah, tidak naik ke atas.
- Laku Hambeging Yama
Pemimpin hendaknya meneladani sikap & sifat Dewa Yama, dimana Dewa Yama selalu menegakkan keadilan menurut hukum atau peraturan yg berlaku demi mengayomi rakyatnya. Harus menindak tegas abdinya, jika mengetahui abdinya itu memakan uang rakyat & mengkhianati negaranya. Dewa Yama memiliki sifat seperti mendung (awan), mengumpulkan segala yg tidak berguna menjadi lebih berguna. Adil tidak pilih kasih. Bisa memberikan ganjaran yg berupa hujan & keteduhan. Jika ada yg salah maka akan dihukum dengan petir & halilintar.
- Laku Hambeging Surya
Seorang pemimpin yg baik haruslah memiliki sifat & sikap seperti matahari (surya) yg mampu memberi semangat & kekuatan yg penuh dinamika serta menjadi sumber energi bagi bumi pertiwi. Sifat matahari berarti sabar dalam bekerja, tajam, terarah & tanpa pamrih. Semua yg dijemur pasti kena sinarnya, tapi tidak dengan serta merta langsung dikeringkan. Jalannya terarah & luwes. Tujuannya agar setiap manusia sabar & tidak sulit dalam mengupayakan rejeki. Menjadi matahari juga berarti menjadi inspirasi pada bawahannya, ibarat matahari yg selalu menyinari semesta.
- Laku Hambeging Candra
Pemimpin hendaknya memiliki sifat & sikap yg mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yg berada dalam kebodohan dengan wajah yg penuh kesejukan seperti rembulan (candra), penuh simpati, sehingga rakyat menjadi tentram & hidup dengan nyaman. Rembulan juga bersifat halus budi, terang perangai, menebarkan keindahan kepada seisi alam. Seorang pemimpin harus berlaku demikian, menjadi penerang bagi rakyatnya.
- Laku Hambeging Maruta
Maruta adalah angin. Pemimpin harus menjadi seperti angin. Senantiasa memberikan kesegaran & selalu turun ke bawah melihat rakyatnya. Angin tidak berhenti memeriksa & meneliti, selalu melihat perilaku manusia, bisa menjelma besar atau kecil, berguna jika digunakan. Jalannya tidak kelihatan, nafsunya tidak ditonjolkan. Jika ditolak ia tidak marah & jika ditarik ia tidak dibenci. Seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan laporan bawahannya. Biasanya, bawahan bagitu pelit & selektif dalam memberikan laporan kepada pemimpin, & terkadang hanya kondisi baik-baiknya saja yg dilaporkan.
- Laku Hambeging Bumi
Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat utama dari bumi, yaitu teguh, menjadi landasan pijak & memberi kehidupan (kesejahteraan) untuk rakyatnya. Bumi selalu dicangkul & digali, namun bumi tetap ikhlas & rela. Begitu pula dengan seorang pemimpin yg rela berkorban kepentingan pribadinya untuk kepentingan rakyat. Seorang pemimpin haruslah memiliki sikap welas asih seperti sifat-sifat bumi. Falsafah bumi yg lain adalah air tuba dibalas dengan air susu. Keburukan selalu dibalas dengan kebaikan & keluhuran.
- Laku Hambeging Baruna
Baruna berarti samudra yg luas. Sebuah samudra memiliki wawasan yg luas, mampu mengatasi setiap gejolak dengan baik, penuh kearifan & kebijaksanaan. Samudera merupakan wadah air yg memiliki sifat pemaaf, bukan pendendam. Air selalu diciduk & diambil tapi pulih tanpa ada bekasnya. Seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf, sebagaimana sifat air dalam sebuah samudra yg siap menampung apa saja yg hanyut dari daratan. Samudra mencerminkan jiwa yg mendukung pluralisme dalam hidup bermasyarakat yg berkarakter majemuk.
- Laku hambeging Agni
Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api (agni), yang selalu mendorong rakyatnya memiliki sikap nasionalisme. Seperti api, berarti pemimpin juga harus memiliki prinsip menindak yg bersalah tanpa pilih kasih. Api bisa membakar apa saja, menghanguskan semak-semak, menerangkan yg gelap. Bisa bersabar namun juga bisa sangat marah membela rakyatnya jika dizolimi & tetap memiliki pertimbangan berdasarkan akal sehat & bisa dipertanggungjawabkan.
Sultan Agung Mataram pada prinsipnya menjalnkan kepemimpinan yang mampu : a) hamemayu hayuning bawana (atri membangun bumi yang indah dan lestari); b) Mangasah mingising budi (mempertajam budi pekerti) ; dan c) Memasuh malaning bumi (membersihkan perbuatan yang merusak). Sehingga akan terwujud negara dan rakyat yang Gemah ripah loh jinawi, Tata tentrem karta raharja (sejahtera berkeadilan dan adil berkesejahteraan).
Pun, banyak falsafah nenek moyang kita dari berbagai etnis yang memiliki niai-nilai luhur dalam kepemimpinan. Misal dari Batak dikenal dengan istilah ” Dijolo siihuthonon, dipudi sipaimaon, ditonga-tonga siharungguon”, artinya di depan diikuti, di belakang ditunggu dan di tengah dikerumuni. Ini sejalan dengan ajaran kepemimpinan dari Ki Hadjar Dewantara :”Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, Tutwuri handayani.”
Dalam catatan Ir.Santiamer H.Silalahi – sahabat IMPI— menjelaskan bahwa Sifat kepemimpinan Batak Toba antara lain:
1. “Raja Urat Ni Uhum, Namora Uratni Hosa,” yang berarti : Pemimpin sumber hukum yang benar, hartawan membantu orang yang lemah;
2. “Monang Maralohon Musu,Talu Maralohon Dongan,” artinya : Menang melawan musuh kalah melawan teman;
3. “Pamuro Somantat Sior, Parmahan Somantat Batahi,” artinya : Penjaga tanpa panah, pemgembala tanpa cambuk;
4. “Si Duduk Na Ginjang, Si Balon Nabolak,” artinya : Mampu mengatasi setiap persoalan;
5. “Persipitu Lidi,” artinya : Cerdas, bijak dan baik
6. “Hariara Nabolon” yang berarti : Kuat dan kokoh dan tempat berlindng;
7. “Pardasing Sora Meleng, Parhatian Sora Monggal” artinya Jujur, adil dan tidak memihak;
8. “Paramak Sobalunon,Parsakalan So Mahiang,” yang artinya : Terbuka pada setiap orang tanpa membeda-bedakan status sosial, pintu selalu terbuka;
9. “Partogi Pagihutan, Panungkunan Pandapotan,” artinya : Pemimpin yang layak diikuti dan tempat setiap pertanyaan. Setiap ada masalah selalu ada solusi darinya.
Kemudian, karifan lokal Sunda, kita mengenal falsafat bahwa seorang pemimpin sebagai “Maung Masagi” (manusia unggul dan masagi) ki Sunda yang ulet dan tangguh, yang bisa melahirkan konsepsi ketahanan pribadi,daerah atau nasional. Pemimpin ki Sunda yang memiliki nilai “Panca Jatidiri Insan”, yang meliputi pengkuh agamana (Spiritual Quotient), Luhung elmuna (Intellegence Quotient), Jembar Budayana (Emotional Quotient), Rancage Gawena (Adversity Quotient) dan Motekar (Creativty Quoetient).
Dan sungguh kaya kearifan local (local wisdom) bangsa Indonesia yang harus diinyternalisasikan kepada segenap anak bangsa sehingga tidak kehilangan jatidirinya di tengah persaingan global yang semakin ganas dan tidak manusiawi.