DIALEKTIKA OTONOMI DAERAH, PILKADA & POTENSI DISINTEGRASI BANGSA

Admin Jan, 11 2022 0 Comment

Oleh : DR.KRRA.Suharyono S.Hadiningrat

     KERAWANAN Pilkada harus dimitigasi dan diantisipasi sehingga tidak mereduksi nilain-nilai demokrasi maupun menganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional. Setidaknya ada persoalan yang berpotensi memicu kerawanan yaitu penyalahgunaan kewenangan program kegiatan pemda (bagi patahana yang iku kontestansi pilpada), politik uang, politik dinasti, isu SARA (suku, agama dan ras), netralitas ASN, netralitas penyelenggara pemilu maupun penegak hukum.

     Resesi Ekonomi

     Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemic covid 19 maupun resesi ekonomi merupakan sebuah pertaruhan yang dapat memicu adanya kulter baru covid19, walaupun ptorokol kesehatan ditegakkan. Belum lagi, biaya yang disiapkan pun besar mencapai Rp 20,4 Triliun untuk 270 daerah yaitu  9 provinsi, 224 kabupaten dan  37 yang akan berlangsung  9 Desember 2020 yang akan datang. Dari tahapan kampanye baik melalui daring maupun pengumpulan masa ternyata sangat banyak orang yang abai, dan tidak mentaati protokol kesehatan, justru di beberapa tempat ada perlawanan dari sekelompok masyarakat dengan dalih bahwa sakit dan mati itu taqdir. Inilah kekonyolan yang mereka lakukan di ruang publik, yang sebenarnya mereka sedang membunuh orang lain, karena mereka sendiri tidak tahu apakah dirinya sudah terinfeksi covid 19 yang mematikan itu. Kondisi ini, tidak bisa dibiarkan dan harus ditegakkan disiplin yang tinggi terhadap protokol kesehatan, terlebih kini penyebaran covid 19 dapat menular melalui udara, partikel kecil virus corona dapat bertahan hingga 3 jam di udara (update WHO).

     Semestinya, pilkada tahun ini dapat ditunda dan kita fokus penanganan pandemi covid 19 sehingga dana yang disiapkan dialihkan; mengingat kondisi saat ini lebih prioritas penangan covuid19 yang telah membunuh ribuan bahkan jutaan orang. Update BNPB dan Kemenkes R.I. tanggal 28 Nopember bahwa tercatat ada 522.581 orang kasus terinfeksi positif covid 19, dinyatakan sembuh 437.456 orang, dan meninggal 16.521 orang. Sedangkan seluruh dunia, tercatat 61.956.488 orang, dinyatakan sembuh 42.766.748 orang dan meninggal 1.448.182 orang (data worldmeters).

       Akibat dari pandemi covid 19 menjadikan Indonesia masuk zona resesi ekonomi karena pertumbuhan ekonomi 2 (dua) kuartal berturut-turut terkontraksi menjadi -5,32% pada kuartal II/2000 (y.o.y) dan – 3,49 % pada kuartal III/2000 (y.o.y). Sementara itu, dana pemulihan ekonomi yang disiapkan sebesar Rp 226,72 Triliun, pun belum dapat mengatasi persoalan pandemi covid 19 maupun pemulihan ekonomi. Antara lain sebesar Rp 87,55 Triliun untuk kesehatan, untuk jaminan sosial mencapai Rp 203,9 Triliun akibat dari berhentinya aktivitas penyerapan tenaga kerja sehingga banyak korban PHK.. Dan Rp 177,03 Triliun untuk menjaga volatilitas sector keuangan dan pembiayaan UMKM dan koperasi.

     Pemulihan Ekonomi nasional (PEN) sangat ditentukan oleh kebijakan sector kesehatan agar menjaga kapasitas pemerintah pusat hingga daerah, penegak hukum dan sector usaha dalam mengawal kebijakan transisi PSBB supaya tidak menimbulkan lonjakan kasus baru covid 19 (second wave) sehingga kegiatan ekonomi dapat berlangsung. Begitu juga, kebijakan pemulihan ekonomi nasional harus benar-benar sesuai sasaran dan taat azas agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan maupun melanggar hukum, walaupun extra ordinary. Harus dijamin efektivitas paket jaring pengaman sosial dan paket stimulus ekonomi ke sektor-sektor UMKM,  koperasi, BUMN, perbankan maupun perusahaan lain.  Namun tetap dicermati jangan sampai ada penumpang gelap yang  menangguk keuntungan, terlebih dalam waktu dekat ada pilkada serentak 2020 ditengarai bakal menjamur politik dinasti dan uang. Oleh karena itu rakyat harus cerdas dan berani menolak politik dinasti dan uang agar demokrasi benar-benar berlangsung luber dan jurdil.

    Pertumbuhan ekonomi tidak sekonyong-konyong terwujud tanpa ihtiar kita semua, mulai dari mobilitas masyarakat, modal dan barang. Ketiganya merupakan faktor fundamental dalam mencapai pertumbuhan. Di sisi lain, golongan ekonomi lemah dan pelaku usaha mikro dan kecil maupun koperasi perlu penguatan baik permodalan, manajerial dan kinerjanya. Ini sangat penting, agar ekonomi nasional segera pulih, kalu berlarut-larut dapat terjadi resesi. Setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan agar tidak terjadi resesi yaitu terjaganya sector keuangan dan dunia usaha dan sektor keuangan. Respon terhadap kebijakan PEN harus mampu mengantisipasi dinamika perubahan baik faktor internal maupun eksternal, setidaknya 2 tahun ke depan. Faktor internal anatara lain a) ketergantungan kepada permintaan dalam negeri sangat tinggi, sementara kita belum akan bisa mulai bekerja optimal hingga Covid-19 dikendalikan secara penuh; b) Ketidakpastian terhadap akses dan distribusi Vaksin, diperkirakan baru teratasi antara 12 bulan hingga 18 bulan ke depan (sampai dengan akhir tahun 2021); c) Utilisasi produksi dan penyediaan lapangan kerja; dan d)  permintaan dalam negeri belum akan optimal hingga akhir tahun 2021, dan baru mulai merangkak naik menuju optimal pada tahun 2022.; e) Hasil restukturisasi yang dilakukan Perbankan pada tahun ini, seperti penundaan pembayaran bunga maupun cicilan utang, diperkirakan sebagian berpotensi menjadi kredit bermasalah di tahun depan. Adapun faktor eksternal anatara lain : kondisi perekonomian yang tidak kondusif, perdagangan dunia diperkirakan masih lemah serta kecenderungan semua negara mementingkan diri masing-masing.

     Kemudian, perlu menjadi perhatian negara agar menjamin distribusi pendapatan untuk rakyatnya agar dapat menikmati lezatnya kesejahteraan; karena persoalan ini bagaikan lingkaran syetan yang belum dapat diatasi. Kondisi saat ini, 51% asset kekayaan nasional hanya dikuasi oleh sekitar 1% warganegara atau dengan kata lain 1% orang kaya menguasai 51% asset kekayaan nasional. Pun, PHK merajalela hingga menyentuh 3,5 juta orang; sementara Organisasi Buruh Internasional (ILO) melaporkan bahwa  sebanyak 81 persen dari tenaga kerja global yang berjumlah sekitar 3,3 miliar, atau 2,67 miliar pekerja saat ini terkena dampak penutupan tempat kerja akibat pandemi virus corona (Covid-19). Sementara sekitar 1,25 miliar pekerja diantaranya terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

     Politik Dinasti

     Centeng perentang dan suhu politik pun mulai memanas, ibarat pacuan kuda sudah siap lepas kendali.  Mereka mencari pembenaran diri untuk dapat menang dengan cara apa pun akan mereka lakukan, terlebih yang berada di tampuk kekuasaan, mereka  merasa yang seolah-olah menjadi miliknya dan merasa benar sendiri. Ini jumbuh dengan peribahasa Jawa ”Anak polah Bapa kepradah” yang artinya seorang anak mempunyai kehendak makan orang tuanya mempertaruhkan semua apa yang dimilikinya untuk kesuksesan anaknya.  Jika dikaitkan dengan hak mungkin benar adanya, namun etika lebih tinggi daripada aturan-aturan hukum yang dibuat. Ada teladan sangat baik dan idealisme yang patut kita contoh ketika mantan Kapolri Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso tidak menyetujui puteranya (Aditya) masuk AKABRI matra kepolisian, karena menjaga idealisme untuk tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri dan keluarganya.

     Perlu juga diwaspadai, dibalik itu semua, pasti ada pergerakan pemegang modal dan finansial yang sangat besar (para cukong) yang rela mengeluarkan kocek sangat besar demi kemenangan para calon disekitar dinasti yang berkuasa. Mereka para pemilik modal tidak serta merta memberikan dukungan begitu saja tanpa kalkulasi ekonomi dan keuntungan bagi mereka, dinasti dan kroni-kroninya. Oleh karena itu, Rakyat harus cerdas dan berani menolak dan tidak memilih politik dinasti maupu kroni-kroninya yang secara etika politik sungguh memprihatinkan. Perilaku poitik dinasti ini sangat tricky seolah tidak ada legal formal yang diterabas/dilanggar, padahal norma etika itu lebih tinggi daripada sekedar aturan hukum (Socrates, filsuf Yunani). Tuntutan untuk berkomitmen dengan etika merupakan tututan publik semua orang, terlebih bagi pejabat negara, tokoh masyarakat maupun public figure yang seharusnya sudah paripurna dengan dirinya sendiri maupun keluarganya. Akan sangat baik, jika pencalonan anak, menantu maupun keluarganya dilakukan nanti saat orang tuanya tidak menjabat lagi; sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan carut marut. Kemudian, ada contoh kasus sangat ironis bahwa ada seorang Walikota dengan Ketua DPRD-nya anaknya sendiri, walaupun dipilih secara demokratis dalam proses politik pileg maupun pilkada.

     Zaman Now, sungguh sangatlah sulit menemukan sosok-sosok yang berkarakter negarawan. Pada umumnya mereka belum selesai dengan diri maupun keluarganya sehingga sarat dengan kepentingan diri dan keluarganya (maupun kroni-kroninya). Saat ini ada sekitar 170 kepala daerah/wakilnya, 150-an Anggota DPR RI yang  yang berasal dari politik dinasti ini; belum lagi jabatan-jabatan lain yang tidak terendus oleh publik maupun media. Dan menurut rilis KPK bahwa kasus-kasus korupsi yang dilakukan para pejabat di daerah sekitar 82% karena terdesak oleh sistem politik dinasti, percukongan dan koncoisme.

     Pun, fenomena kotak kosong dan calon tunggal, ini merupakan kegagalan demokrasi akibat parpol tidak mampu menyiapkan kader terbaiknya (karena kegagalan kaderisasi), kepentingan pragmatis kongkalingkong parpol, cukong dan penumpang gelap.  Ada 25 daerah yang menyelenggarakab pilkada untuk calon tunggal melawan kotak kosong. Sementara, calon perseorangan tidak ada yang bernai muncul karena takut kalah dan faktor finansial mereka tidak memadai.  Ada contoh baik dan salut atas kecerdasan masyarakat Kota Makasar yang berani memilih kotak kosong, karena calon tunggal tidak sesuai harapan dan hati nuraninya pada pilkada tahun lalu. Juga harus diwaspadai munculnya ”calon-calon boneka” untuk memeuluskan calon tunggal oleh dinasti maupun parpol.

     Kemudian terkait suara, diarasakan adanya ketidakadilan dari sistem one man = one vote, karena menyamaratakan seseorang pemilih, semua sama dihitung satu suara bagi orang yang bodoh maupun pintar. Ke depan, mestinya digunakan sistem proporsional untuk menghitung suara dari para pemilih yang berbeda-beda latar belakang. Misalnya menggunakan latar belakang pendidikan yang dirasa lebih berkeadilan sejalan dengan jargon SDM Unggul Indonesia Maju. One person=proporsional vote berbasis pendidikan akan mengkategorikan pemilih berdasarkan  latar belakang pendidikan yang dimilikinya, misalnya pemilih dengan pendidikan SD kebawah dihitung 1 suara, SMP/sederajat : 2 suara, SMA/sederajat : 3 suara, D1 : 4 suara, D2 : 5 suara, D3:6 suara; D4/S1 : 7 suara, S2 : 8 suara dan S3 : 9 suara. Terkait hal ini pasti ada pro dan kontra, namun jika dikaji secara obyektif maka sistem proporsional ini lebih humanistis dan berkeadilan.

     Politik Uang dan Korupsi

     Korupsi hingga kini masih meraja lela, kasus terbaru ada seorang Menteri yang dicokok KPK karena korupsi; sementara itu sebelumnya ada Bupati di Kalimantan Timur yang tertangkap tangan melakukan korupsi.  Sejak pilkada digelar pada 2005 silam hingga sekrang ada sekitar 300 kepala daerah/wakilnya yang terjerak kasus korupsi yang motifya beragaman namun pada umumnya kerkuat sekitar politik balas jasa, kedinastian maupun bagi-bagi jatah untuk para kroni-kroninya.  Ada yang mislink antara tuntutan reformasi 1998 dengan realita saat ini. Setidaknya ada 6 tuntutan reformasi 1998 yaitu 1) Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945; 2) penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); 3) penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); 4) desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah; 5) mewujudkan kebebasan pers; dan 6) mewujudkan kehidupan demokrasi. Padahal Reformasi 1998 sudah berlangsung 22 tahun, namun masing banyk menyisakan persoalan yang belum ada solusinya. Misalnya korupsi masih merajalela, ekonomi semakin terpuruk, demokrasi berbiaya sangat-sangat mahal.

     Dampak Ekonomi Pilkada  

     Anggaran pilkada serentak mencapai Rp 20,4 Triliun akan dibelanjakan untuk keperluan peralatan pilkada sekitar 40%, selebihnya 60% untuk insentif para penyelengara pilkada. Perputaran uang ke daerah dapat menjadi stimulus ekonomi di tengah wabah covid 19 yang belum mereda. Dampaknya ekonominya dapat memberikan stimulus bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) termasuk ultra mikro. Pilkada akan menggerakkan perekonomian di daerah. Belum lagi, dana yang dikeluarkan para bakal calon (balon) maupun calon peserta kontestansi mulai dari lobby-lobby (atau semacam mahar politik) untuk pencalonannya, kampanye, perhelatan hari H pemungutan suara, gugatan di Mahkamah Konstitusi hingga pelantikannya. Terkait, peraga kampanye secara fisik diperkirakan akan turun karena di tengah wabah covid 19 media on line akan menjadi sarana kampanye yang ampuh, disamping kampanye lainnya. Juga sangat perlu diwaspadai, maraknya money politic (politik uang) yang bakal menggelontor bagai rakyat berpenghasilan rendah, korban PHK dan lain-lain, yang dinilai rentan terhadap jual beli suara ini. Bawaslu hendaknya bekerjasama dengan KPK untuk lebih pro-aktif dan tidak memihak pada kepentingan tertentu.

          Kemudian, saat coblosan tanggal 9 Desember, Rakyat harus cerdas memilih jangan memperjualbelikan suara untuk calon yang tidak memiliki kapabilitas dan integritas. Harus berani tolak politik uang, tolak politik dinasti sehingga negeri ini tidak dikuasai oleh segelintir orang saja; namun benar-benar kekuasaan oleh rakyat sebagai inti dari demokrasi yang kita dambakan.

Persoalan substansial dengan adanya otonomi daerah harus mampu mensejahterakan rakyat di daerah maupun kemajuan pemabngunan di daerah, buka sebaliknya sebagai ajang lahirnya raja-raja kecil di daerah yang berpotensi menjadi disintegrasi manakal ketimpangan-ketimpangan sosial dan ekonomi tidak diatasi segera dengan langkah-langka extra ordinary.

Admin

IMPInews.com - Akurat & Terpercaya

Artikel Terkait

PERANAN PENTING PAGUYUBAN TRAINER NEGOSIASI KEMNAKER (PATEN18)

PEMBANGUNAN IKN DAN FILOSOFI HAMAMAYU HAYUNUNG BAWANA

KEPIMPINAN IDEAL

WASPADA KULTUS INDIVIDU DAN KRISIS TOKOH NASIONAL

LAGI-LAGI, KEPALA DAERAH TERKENA OTT KPK

DIALEKTIKA OTONOMI DAERAH, PILKADA & POTENSI DISINTEGRASI BANGSA